Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Teman yang Berbicara dengan Lututnya

23 Juni 2016   04:02 Diperbarui: 23 Juni 2016   04:11 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi II sumber gambar ; http://kisahikmah.com/wp-content/uploads/2015/06/banyak-bicara.jpg"][/caption]

Teman adalah saudara tak bersambung darah
Itu hukum para dewa
Teman adalah diri kita yang lain
Itu pesan tetua
Teman adalah tangan-tangan kita dalam satu cita bersama
Itu kata petutur maha kata

Tadi kulihat para Teman di panggung pesohor
tapi tak kulihat gambaran dewa di wajah mereka
Kusimak sosoknya
tapi tak kulihat bayangan diri tetua
Kueja bahasa geraknya
Tapi tak kudapat satupun maha kata di tangannya

Aku bertanya pada hati
Siapa mereka?
Hati tak menjawab. Ahh, kupikir masih sibuk bekerja bersama empedu
Menyaring racun-racun jagat fana

Aku diam menunggu, tak lepas tatap ke panggung
Tiba-tiba guntur menggelegar bersama kilat menyambar bumi
Langit mendadak gelap
Kulihat siluet orang berpesta di dalam pekat
Muncul suara bersorak
Terdengar hentakan dan teriakan kegirangan
Tapi tak tak kulihat kaki mereka mengayun langkah

Dimana kaki mereka?

Satu kilatan langit terbesar membelah langit
Iluminasi meraja di cakrawala
Saat itu kulihat kaki mereka tak berjejak di tanah
Kuyakinkan lagi mataku di waktu kesekian
Astaga !
Kaki mereka terlepas
Bagian lututnya pindah di belakang kepala
Kulihat sekali lagi
Mereka berbicara atas titah lututnya!

Aku berniat mendekati mereka untuk bertanya
Tapi tubuhku tertahan energi maha dahsyat
Kulihat di balik tembok
Para dewa dan tetua menangis sembari memungut gumpalan otak berceceran yang disia-siakan pemiliknya.

------

Pebrianov23/06/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun