Tak seharusnya kau di situ. Ruang Itu bukan tempatmu. Tak sepantasnya kau berbicara. Takdirmu adalah melihat.
Begitu, kah?
Apakah tak kau rasakan setiap mereka menyimak aku? Tak sekejap pun beranjak. Setiap butir energi yang kupancarkan terserap dan menggerakkan mereka yang lama terkunci.
Aku tak perduli sikap mereka padamu. Mereka tak memahami dirimu. Bagaimana bisa sepenuhnya melihatmu? Mereka adalah Bibir!
Janganlah kau terlalu picik. Harusnya jiwamu terbuka. Mereka kini butuh aku, dan aku rela memberikan diriku. Sementara kau terlalu asik mempersolek diri sendiri. Dan hanya bisa diam ditempat.
Aku tak pernah diam! Aku selalu ada diantara mereka dengan caraku yang tak perlu kau tahu. Aku memiliki lidah, liur dan langit-langit. Aku berpunya pita suara dan tenggorokan. Semua itu kelengkapan untuk bicara. Sementara kau, tak satupun kau miliki !
Betul. Tak kumiliki kelengkapan itu. Aku tak sefasih kau saat berbicara. Tapi bersamaku mereka menjadi fasih, mampu melihat dan menyadari diri sendiri saat bicara. Bibir merekalah yang bergerak, suara merekalah yang keluar. Kuhadirkan dimensi waktu mereka saling bicara. Dan untuk belajar berbicara pada diri sendiri.
Kau telah membohongi mereka!
Tidak! Semua itu karena tubuhku punya lensa dan cermin, tempat mereka melihat secara jernih dan detail. Tempat mereka berkaca, memahami diri sendiri. Membangunkan kesadaran diri.
Kaca itu tak pernah bohong! Â Justru kaulah yang berbohong saat membuka dan mengatupkan bibirmu. Saat kau bersuara tanpa pernah berikan ruang dan waktu untuk mereka melihat diri sendiri. Kau bodohi mereka dengan kelengkapanmu!
***
Bibir terdiam. Dia merasa ditelanjangi. Lewat cermin di Mata, dia melihat dirinya sendiri. Tampak tetesan air bening dari pori-porinya. Bibir tersadar, dirinya telah menangis.
---Â