[caption caption="Ilustrasi II sumber gambar ; http://www.andriewongso.com/uploads/2015/12/Permintaan-Maaf_2015-01-12-15-50-37_sorry_.png"][/caption]
Melalui pertimbangan yang matang, dan setelah beberapa hari saya pikirkan maka dengan penuh kesadaran saya sampaikan permohonan maaf yang sebesarnya kepada Kompasianer Suyono Apol.
Permohonan maaf ini berkaitan dengan ketidakmampuan atau keteledoran saya di Kompasiana.
Beberapa waktu lalu Mas Suyono Apol menulis Artikel " Mengapa Pebrianov Masih Bercentang Hijau?" Ditulis tanggal 01 Juni 2016 12:53:20. Tulisan tersebut saya ternyata banyak mengundang pembaca. Terakhir saya lihat 587 Hits.
Terlepas pro-kontra tentang arti-makna-esensi soal warna Centang di Kompasiana, Saya yang pemalu ini kaget dan berbesar hati bahwa ada teman yang Perhatian pada status centang saya di Kompasiana. Didalam tulisan itu secara tersirat dan tersurat Mas Suyono Apol dan sejumlah kawan mengharapkan saya tercentang biru. Saya apresiasi tulisan Suyono Apol dan harapan teman-teman.
Perlu saya sampaikan bahwa dalam hitungan menit-jam setelah artikel mas Suyono Apol tertayang, saya mendapat inbok dari admin Kompasiana. Isinya ;
Hallo Kompasianer Pebrianov
Karena kontribusi, partisipasi dan aktivitas besar yang telah Anda berikan di Kompasiana. Tim Kompasiana memutuskan untuk memberikan label Terverifikasi BIRU. Info lengkap terkait Verifikasi Biru bisa Anda simak di http://komp.as/A8sVm Silakan memperbarui data identitas Anda di pengaturan, dan memperbarui foto profil Anda yang valid. Salam,
Tim Konten Kompasiana.
Setelah membaca inbok tersebut segera saya penuhi yang menjadi prosedur, syarat/permintaan admin.
Namun sampai artikel ini tertayang (sudah 13 hari), warna centang itu tidak berubah. Sejumlah kemungkinan yang menyebabkan terhambatnya centang (tak berubah) adalah ;
1. Mungkin saya salah prosedur pengisian form diminta. Maklum saja, walau bagian pinggang ke bawah dan semangat saya masih mudah, tapi mata dan otak saya sudah tua.
2. Mungkin Data yang saya kirim dianggap tidak valid / meragukan sehingga tidak memenuhi syarat. Maklum saja alamat saya di KTP memang cuma singkat. Sementara yang saya tulis di form Kompasiana lebih panjang, kuat dan tahan lama.
3. Mungkin Data yang saya kirim belum sampai atau nyasar entah kemana karena salah prosedur, jatuh dalam perjalanan. Atau terjebak 'Alamat Palsu' menurut Ayu Ting-Ting.
4. Mungkin Data saya disabotase pihak yang tidak menginginkan saya jadi admin tahun 2222. Jadi admin merupakan batu loncatan menjadi Capres 2224. Untuk mencapai semua itu tahap pertama saya harus Terverifikasi Biru. (point 4 ini atas bisikan penasehat spiritual saya Kompasianer Yon Bayu, lho...)
5. Mungkin saya ketahuan tidak pakai celana saat mengisi form itu. Tentu saja hal ini aib besar bagi yang melihatnya, sementara bagi saya itu hal yang biasa.
Sejumlah kemungkinan lain bisa saja masuk dalam kandidat artikel. Namun dipersingkat 5 buah saja. Kalau sampai 7 saya ndak enak sama HNW. Dikira mau mengajukan 7 calon gubernur DKI Jakarta.Â
Saya sudah berusaha untuk mengikuti prosedur yang ada, namun seperti kata pepatah lama "Tak Ada Puding yang Retak" maka saya mohon maaf kepada mas Suyono Apol yang telah memberi perhatian pada saya. Sementara saya ternyata belum mampu memenuhi harapan yang tersirat dan tersurat di artikel itu.
Ada pertanyaan kenapa saya Tidak Mempertanyakannya pada Admin Kompasiana?
Secara yuridis formal artikel saya ini sebagai respon dan pertanggungjawaban terhadap artikel mas Suyono Apol terdahulu.
Pengacara saya dari kantor Law Firm Kenthir SH & Associate menyarankan saya untuk melakukan dua hal.
Pertama, mengajukan Yudicial Review atas inbok Admin Kompasiana, dengan metoda pembuktian terbalik. Mereka akan membuatkan draftnya.
Saran ini saya tolak karena Pertama ; Yudi tidak mau diFacial, dia lebih suka masage plus. Kedua, tidak terbalik saja saya sering pusing-pusing dan mual, apalagi kalau saya harus terbalik? Bisa-bisa saya pingsan selamanya dan tidak bisa menulis lagi di Kompasiana. Bagi saya, cukuplah selama ini celana saya saja yang terbalik namun tetap bisa menulis di Kompasiana dengan riang gembira penuh pesona.
Kedua, pengacara menyarankan saya untuk 'Merajuk' atau 'Mutung' atau melakukan 'Boikot' atau 'Embargo' menulis di Kompasiana. Mereka akan membuatkan draft testimoninya.
Saran itu saya tolak karena kalau 'Merajuk' akan membuat kegantengan saya hilang dan  saya jadi tersipu malu terus menerus. Ini sangat melelahkan. Sementara kalau saya Boikot menulis, lalu saya menulis dimana? Saya sudah kapok disiram air cucian karena menulis di tembok tetangga. Saya pernah terkencing-kencing saat ditangkap Satpol PP karena menulis di tembok fly over, taman, jalanan, baju seragam orang lewat, dan tempat publik lainnya.
Embargo dan Merajuk sangat tidak cocok dengan pribadi kemaluan saya ini. Karena bagi saya ; "Taman yang paling Indah adalah taman Kompasiana. Tempat bermain, berteman banyak. Itulah taman indah taman Kompasiana.
Jadi bagi saya tempat menulis yang mantap surantap itu adanya di Kompasiana. Apapun makanannya, minumnya sambil nulis di Kompasiana. Bersakit-sakit ke hulu, menulisnya di Kompasiana juga. Biarlah Ahok jadi gubernur DKI Jakart, asalkan saya tetap bisa menulis di Kompasiana.
Demikianlah artikel permohonan maaf ini saya sampaikan dengan penuh kesadaran yang diragukan. Atas segala perhatian teman-teman saya ucapkan terimakasih. Sekarang saya mohon pamit. Selamat bersiap-siap buka puasa.
Celeguk!
------Â
Pebrianov13/06/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H