Langkah politiknya mencuat bermula dari Pilpres 2014 lalu hingga sekarang di Pilgub DKI2017 yang menempatkan sosok Ahmad Dhani berbaju dua, yakni Musik dan Politik.
Ahmad Dhani berwajah dua dan berjiwa dua. Sebuah sosok baru yang 'aneh' bila melihatnya dengan kacamata dahulu ; sebagai Pencipta dan Penginspirasi Cinta universal.
Namun sosok Dua bukan aneh bila di entitas politik. Dalam politik, wajah atau sosok pelakunya 'boleh' lebih dari satu (Jamak). Hal itu merupakan hal yang biasa guna pencapaian tujuan politis secara pragmatis. Kemarin memusuhi lawan, hari in menjadi kawan. Jadilah lawan itu kawan baru untuk memusuhi kawan lain yang telah menjadi lawan saat ini. Sementara dalam 'ideologi' musik, cinta adalah milik semua orang, syair lagu yang diciptkan dari hasil perenungan adalah untuk semua orang. Tidak ada lawan, tidak ada kawan sesaar, yang adalaha persaudaraan abadi.
Ahmad Dhani di kekinian telah menjadi sosok Paradoksal ketika semua syair cinta dahulu telah menyatukan semua orang namun kini dia sendiri yang menjauhkan diri dari syair-syair cintanya. Dia bahkan mengingkari hasil perenungannya yang jenius pada cinta.
Beragam statemen politiknya yang provokatif, menyerang lawan politik secara kelompok atau personal yang bernuansa SARA, bertolak belakang pada cinta tanah air (melecehkan aparat dan lembaga negara), dan lain sebagainya telah menghiasi ragam berita politik terkini di tanah air.
Pada sisi popularitas politik Ahmad Dhani telah mendapatkannya, namun disaat yang bersamaan dia telah meruntuhkan esensi seni hasil perenungannya dahulu.
Perjalanan perenungan tak lagi menjadi domain Ahmad Dhani dalam bertindak (berkarya) di tengah publik dimana dia menjadi dewa yang mengilhami banyak orang untuk bersimpuh pada cinta.
Kini perjalanan dia didominasi oleh pragmatisme yang telah menjadikannya budak politik. Dari dewa menjadi budak. Dari entitas inspiratif yang teduh ke entitas provokatif yang penuh kebencian. Dari cinta semua orang menjadi cinta kelompok.
Persoalannya kemudian menjadi membingungkan publik, ketika 'Truk Musiknya' dimainkan atas kendali agenda pragmatisme politiknya ; Bagaimana syair cinta Adiluhung bisa dia perdengarkan dengan lepas penuh penghayatan? Bisakah dia menyanyikan lagu Indonesia Saja? (tertera syairnya diatas)Â
Sementara tanpa dia sadari, kini di panggung musik itulah sosoK paradoksnya tampil sangat nyata ; Menyatakan 'Cinta' lewat bibir namun bahasa gerak tubuhnya mengatakan 'Benci'.
Pada situasi paradoks itu, entitas manusia musik sebaiknya tidak terlena dan larut pada kilau sosok si Pemusiknya. Entitas musik harus berani bertahan. Kalau pun mengalami komodifikasi, harusnya dari cinta yang sentimentil menjadi cinta yang mampu untuk bersikap kritis. Â