Politik seringkali jadi misteri bagi orang awam. Tak bisa dipegang. Sulit ditebak. Didalam ruang selalu ada ruang lain yang tersembunyi. Selain politikus ulung, orang awam tak mampu memasukinya. Di pintu ruang itu, publik dibuat jadi 'bodoh'. Tak tahu apa-apa. Padahal nalar publik telah ditempa oleh fakta.
Anomali seronok tentang politi ini pun muncul. Elit politik mendendangkan publik tentang tujuan politik mensejahterakan rakyat. Kekuasaan hanyalah salah satu instrumennya. Namun di sisi lain, politik bergerak menjauhi telinga nalar awam. Apa yang awam (rakyat) lihat, pikirkan dan rasakan tak sejalan dengan dendang aktor politik di panggung politik. Awam seperti dibohongi pelaku politik. Tapi oleh kepiawaian interpretasi pada setiap kata dalam pasal undang-undang, peraturan, dan semacamnya yang tertera di kertas ternyata tak ada kebohongan itu.
Munaslub Golkar telah usai. Secara 'demokratis ala Golkar', Setya Novanto (Setnov) terpilih jadi Ketua Umum. Secara undang-undang, peraturan atau semacamnya prosesi dan hasil akhir munaslub telah sah. Namun apakah nalar awam terpuaskan?
Publik masih belum lupa sepak terjang seorang Setya Novanto sebelumnya yang menyebabkan Publik mengalami luka batin. Serangkaian fakta dan akhir cerita Setya Novanto dan Golkar di pentas politik itu mengoyak menembus dimensi nalar dan hati publik.
Pertemuan Setnov dengan Donald Trump diluar kepantasan selaku pejabat negara bikin malu bangsa Indonesia. Setnov telah menginjak simbol negaranya di negara orang lain. Integritas sebagai elit politik menukik di titik terendah.
Namun apa yang kini terjadi? Begitu 'mudah'nya Setnov menyelesaikan hanya dengan surat pengunduran diri di tengah berlangsungnya sidang kode etik. Sidang itu jadi tak lebih tontonan sinetron di layar mata. Publik sama sekali tak terhibur, justru luka batinnya bertambah dalam.
Setnov tidak dipecat dari DPR-RI dan partai, karena dia 'secara hukum' dianggap tidak bersalah. Sebuah 'hukum' didasarkan saling pengertian antar pihak berkepentingan dan pemegang kuasa panggung politik. Hukum itu bukan hukum sejati, hanya pseudo hukum ; pura-pura hukum yang berperan jadi hukum. Lagi-lagi luka batin publik tertoreh.
Kembali publik melongo melihat panggung Munaslub Golkar. Setnov jadi calon ketua umun dan akhirnya terpilih. Golkar bangga diatas tanda tanya publik akan sosok sang Ketua Umum barunya.
Presiden Jokowi dikabarkan 'lebih menyukai' Setnov yang terpilih. Luhut Panjaitan sang Menko di Kabinet Jokowi menyingsingkan lengan membantu Setnov agar terpilih. Ini adegan yang tak lazim di mata publik. Kemarin dicatut, bikin marah dan perkara pun belum tuntas. Bagi publik, adegan itu bakal masuk ruang misteri. Tak ada suara percakapan selain gerak tubuh.
Publik hanya bisa mereka-reka di pintu terluar ruang misteri politik tingkat tinggi itu. Jangan salahkan publik mencari interpretasi kemudian membangun persepsi sendiri. Jokowi tak lagi seperti dulu. Ada 'kebohongan' sedang beliau mainkan. Atau justru, Jokowi yang jadi 'korban pertama kebohongan' itu sendiri. Lalu, publik (rakyat) dapat apa?
Terpilihnya Setnov adalah puncak pesta Golkar. Namun pesta itu meninggalkan hutang luka batin publik. Golkar bukan tak sadar situasi itu. Mungkin mereka akan bayar di kerja kepengurusan Setnov-sang Ketua Umum yang baru. Namun melihat kebiasaan tak kenal jera Setnov dan Golkar, apakah luka batin publik bisa sembuh?
Bagaimanapun publik harus memberi waktu dan ruang untuk mereka berusaha. Itu kalau publik ingin sembuh. Pahit memang. Itulah nasib publik selalu menelan pil pahit di pinggir panggung elit politik. Publik selalu terpaksa menerima keadaan tersebut. Dan kali ini sosok Jokowi diseret-seret Golkar. Sungguh cerdik Setnov dan Golkar!
Tak percuma Golkar sebagai partai besar dan berpengalaman yang berisi para politisi handal.
------
Pebrianov 17/05/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H