[caption caption="putaran waktu"][/caption]
Tadi aku bertemu putaran waktu. Sudah lama ingin bicara empat mata dengannya. Tentang hasrat dan mimpi. Berbagi cerita momentum. Barangkali bisa membuatku dan dirinya berkawan akrab.
Putaran waktu tak pernah ingkar. Itulah yang membuatku kagum. Selalu hadir di tempat aku mencipta peristiwa.
Semula kupikir dia akan menoleh. Tapi ternyata tidak.
Tapi aku tetap berbicara sambil mengejarnya. Tak hendak mendahului, namun setidaknya mengimbangi larinya. Ku ingin suaraku didengarnya. Mencerna setiap kata. Kemudian berharap dia mau berbaik hati padaku.
Aku terus berbicara sambil berlari di titik-titik momentum. Aku ingin mengajaknya mengubah nasib dan membangun dunia baru bersama.
Aku terus berlari mengimbangi putarannya. Tak putus kata kuluncurkan. Tak sedikit kalimat kulacurkan. Agar dia menolehku. Kemudian berhenti di suatu tanah lapang. Kami duduk bersipuh berdua. Berbicara dari hati-ke hati.
Akan kusampaikan padanya, sudah banyak kuperoleh ilmu. Tak sedikit petuah kusimpan. Beragam makna kupunya. Semua kutawarkan. Kupikir ini cukup jadi bekal untuk berbagi padanya.
Tapi putaran waktu tak tergerak. Terbaca sorot matanya dingin. Tak ada tanda dia pernah memikirkan siapa pun. Baginya, siapapun tak perlu dikenal.
Putaran waktu tak lebih keegoisan jagat raya. Tak punya hasrat melebur dalam peristiwa yang bersemayam. Baginya itu bukan anak kandung yang harus dibelai dan dibela. Bukan pula tetua yang harus diturut. Baginya cukuplah memberi ruang dan batas kepada apapun yang berkenan di dalamnya.
Tadinya aku ingin terus berlari sambil berbicara padanya. Tapi kemudian perlahan berhenti. Kulihat seperti ada belati terselip di tubuhnya. Dia jadi mirip pembunuh. Apakah dia merasa terganggu dan marah?