[caption caption="Ilustrasi: abisyakir.files.wordpress.com"][/caption]Banyak orang mendengar titah Sang Agung.
"Kuasailah bumimu dan seisinya. Tentukan satu orang yang mampu membaginya ke sesama kaum mu. Gunakan untuk memuliakan hidup, agar kelak kau dimuliakan".
Sebagian orang kemudian menyatakan diri sebagai orang pilihan usai berkaca pada bayangan diri, bercak-bercak hujan dan genangan air di jalanan. Mereka ciptakan pantulan maya di setiap dirinya. Kata angin, pada sudut tersembunyi mereka membaca deret aksara berbunyi "Akulah si Pantas pemimpin"
Sementara Aku dan banyak orang bukanlah orang pilihan. Kami hanyalah pelakon nasib yang ditindas waktu. Menjadi genangan di jalanan dan bercak-bercak pada setiap permukaan.
Aku dan banyak orang melihat setiap orang pilihan bereaksi di gaung titah Sang Agung. Masing-masing mengumbar aksara pada dinding. Bolak balik mereka berlari antara ruang sakral dan profan. Kata angin datang, mereka memungut cahaya dan menyimpannya di sapuan rambut dan baju. Agar banyak orang tahu hanya merekalah terang terpantas bertahta atas nama titah Sang Agung.
Aku dan banyak orang hanyalah penonton kuasa mereka pada aksara. Kami lihat mereka adalah orang tanpa ragu dan malu. Mereka mampu menoreh-noreh saling cela tak berujung. Dibuatnya kami jadi saksi bisu saat mereka tak lagi mampu mengukur jarak tahta terhadap titah Sang Agung.
Mereka lupa, pada kamilah tahta itu tertancap ukuran. Itulah yang membuat kami sering bertanya "haruskah oleh pola mereka setiap tahta kehilangan deret ukur ?"
------
Pebrianov30/03/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H