Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sikap pada Penulis Bermuatan SARA, Harus Bagaimana?

23 Maret 2016   15:31 Diperbarui: 23 Maret 2016   15:51 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi, sumber gambar ; http://4.bp.blogspot.com/-sZTuiGJ7Oyc/UBqmF2dt01I/AAAAAAAACyY/ws9BHkUSP9w/s1600/pemimpin.jpg"][/caption]

Penggunaan issue Sara dalam persaingan politik di Indonesia selalu menarik disimak. Takdir keberbedaan suku, ras, agama, golongan sebagai sebuah bangsa besar menjadikan SARA tampil seksi untuk mengoyak konsentrasi persatuan dan sesatuan sesama anak bangsa.

Meniru politik SARA dari Kolonial

Penjajah Kolonial sangat seksinya SARA di negeri ini, sehingga dengan cerdik mereka terapkan politik adu domba dan isue SARA untuk menguasai bangsa ini selama ratusan tahun.

Kini bangsa ini telah merdeka dan jadi sebuah kesatuan bangsa yang kuat, namun dalam persaingan politik, sebagaian anak bangsa dengan bangga meniru cara Kolonial penjajah untuk memenangkan politiknya.

Mereka telah belajar banyak dari Penjajah untuk memenuhi hasrat politiknya. Para arwah penjajah jaman Kolonial mungkin tersenyum bangga karena ada penerus politik SARA di negeri majemuk ini yang justru kini dilakukan anak bangsa.

Peniruan yang Tepat?

Bangsa Jepang yang kalah perang, mereka meniru bangsa Amerika yang lebih maju untuk kemudian bangkit menjadi bangsa besar dan disegani dunia. Sementara ada anak bangsa ini meniru politik SARA dari penjajahan Belanda untuk kemudian dijadikan alat menjajah bangsa sendiri. Mungkin dia berfikir daripada dijajah bangsa luar lebih baik dijajah anak bangsa sandiri. Jadi ada nilai kemandirian sebagai anak bangsa.

Penggunaan SARA di Media

Dari waktu ke waktu selalu ada wacana baru berbau SARA ditampilkan ke ruang publik. Bentuknya beragam, salah satunya adalah membuat pernyataan dan artikel di media. Contoh, mengagungkan ras atau kelompok sendiri sekaligus melakukan pelecehan pada ras atau kelompok lain sesama anak bangsa. Seolah ras atau kelompok lain itu hina, dan tidak punya peran bagi pembangunan negara.

Artikel bernuansa SARA seringkali memunculkan perdebatan sengit dari publik pembaca. Makin tinggi kemarahan publik atau pembaca maka makin senang dan bangga-lah si Penulis tersebut. Kalau perlu tampilkan kata-kata kotor dengan sebutan nama hewan, alat kelamin, dan makian kepada leluhur pada sesama penulis atau pembaca lainnya.

Sebagai Pesakitan

Sebaliknya bila artikel SARA itu sepi tanggapan pembaca, maka si Penulis tersebut bisa frustrasi karena merasa sia-sia telah membuat artikel SARA dengan susah payah, dan tujuannya menciptakan 'kerusuhan' di artikelnya jadi gagal.

Penulis bermuatan SARA merupakan orang yang patut dikasihani. Dia diperbudak nafsunya untuk melecehkan entitas lain dengan Issue SARA, padahal hati nuraninya paham akibat dari penggunaan issu SARA bisa berakibat buruk bagi bangsa ini. Maka terjadilah pertentangan batin dalam dirinya secara terus menerus. Akibat pertentangan batin itu tanpa sadar jiwanya menjadi sakit. Sebuah kesakitan luar biasa tanpa pernah mau dia akui. Inilah yang menjadikan sosok penulis-penyebar kebencian tersebut perlu dikasihani.

Prihatin saja tidaklah cukup, diperlukan aksi nyata terhadap kemalangan penulis SARA. Caranya adalah jangan tanggapi artikel mereka dengan komentar yang bernada SARA, karena itu akan membuat nafsu dan ego SARA mereka makin kegirangan. Rasa girang tersebutlah yang membuat penulis SARA jadi pesakitan.

Selain itu, jangan kucilkan dirinya yang menyebabkannya berkecil hati, minder, merasa dirinya orang terbuang, tak berguna di Kehidupan dan hilang kebanggaannya sebagai orang hebat. Hal itu bisa saja membuatnya frustrasi dan bunuh diri.

Kalau mereka mati, dia tak dapat mengubur jasadnya sendiri. Tak bisa mendoakan dirinya sendiri. Orang tersebut masih butuh orang lain untuk menolongnya sampai ke peristirahatan terakhir, dan selanjutnya membantu keluarga yang dia tinggalkan menjalani hidup di dunia yang majemuk ini..

--------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun