Kalau melihat bahwa pilgub DKI belum resmi dimulai, dan masih membuka peluang banyak tokoh untuk bertarung harusnya dari hak berpendapat itu memunculkan banyak pendapat setara terhadap banyak tokoh sehingga terciptalah banyak entitas yang setara. Namun, realitas yang terjadi pada rencana Pilgub DKI tidak demikian. Entitas yang muncul hanya ada dua, dengan fokus hanya satu tokoh, yakni Ahok. Apakah kondisi ini merupakan sebuah kesetaraan? Apakah Ahok mengalami kesetaraan dalam politik?
Terbentuknya dikotomi sejatinya mampu tetap entitas yang setara. Karena hak berpendapat setiap orang mengerucut pada entitas pro dan kontra. Persoalan argumentasi setiap entitas adalah milik entitas tersebut. Kesetaraan Entitas kemudian menjadi tidak terpenuhi ketika kita melihat bahwa masih ada sejumlah tokoh lain yang berpeluang jadi petarung pilgub DKI. Mereka bersembunyi pada salah satu entitas (kontra Ahok) dan diuntungkan oleh adanya dikotomi.
Ahok sebagai salah satu tokoh petarung pilgub DKI tidak mengalami kesetaraan politik. Karena dia dan entitasnya telah menjadi target (tekanan) oleh (banyak) entitas dan tokoh lain dalam pilgub DKI. Celakanya, hal itu dialami justru ketika pilgub belum resmi dimulai.
Sampai kapan Ahok dan entitasnya mampu bertahan?
Mari berpikir....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H