[caption caption="Ahok dan Haji Lulung dalam suatu acara, sumber gambar : penulispro.com"][/caption]Majunya Ahok lewat jalur independen membuka sejarah baru politik pilgub DKI. Ahok bercerai dari parpol yang dulu menjadikannya wakil gubernur selanjutnya gubernur DKI, kemudian dia kawin dengan rakyat lewat jalur independen. Perceraian itu menjadikan parpol terluka. Namun Ahok sendiri pun mengalami hal yang sama selama hidup di ‘rumah tangga kekuasaan’. Dalam perjalanan, cara pandang keduanya untuk mensejahterakan rakyat sangat berbeda. Keberbedaan itu menjadi drama terbuka yang disaksikan publik secara luas melewati batas kewilayahan DKI Jakarta.
Sempat terlihat Ahok menjalin kemesraan dengan PDIP untuk membangun mahligai baru kekuasaan, namun itupun kandas. Ada trauma Ahok yang masih membekas, sebaliknya ada kehati-hatian dan rasa harga diri tinggi pada PDIP. Akhirnya keduanya tak bisa bersanding di mahligai kekuasaan DKI 2017. Mulai dari awal kemesraan hingga kandasnya hubungan mereka lagi-lagi menjadi drama terbuka di mata publik.
Oleh rangkaian drama itu, publik menjadi tahu dan belajar banyak tentang ketidakcocokan mereka. Publik Jakarta bukan hanya penonton melainkan bagian dari drama itu sendiri berkaitan dengan nasib publik sendiri. Mereka dipertontonkan banyak hal dalam politik dan relasi Ahok - Parpol di parlemen yang sebelumnya tak mereka pahami.
[caption caption="Ahok bersama simpatisannya, sumber gambar : http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/821019/big/072884500_1425374921-ahok_2.jpg"]
Beragam reaksi publik timbul dan menggema. Perasaan jadi campur aduk, antara marah, benci, rindu, sayang dan lain-lain kepada keduanya. Namun bagi Ahok, hidup politiknya harus tetap berlanjut demi sebuah cita-cita baru mensejahterkan rakyatnya.
Bersamaan dengan itu, publik Jakarta pun terbelah antara menerima Ahok dan menolaknya. Logika keduanya berbeda dalam memandang masalah. Dimata sebagian publik, perceraian Ahok dari Parpol bukan contoh baik bagi dunia politik. Sementara sebagian lagi publik mendukung perceraian itu. Mereka beranggapan hal itu lebih baik demi kepentingan bersama.
Logika yang berbeda itu membentuk dua kutub publik secara masif, yakni kutub yang Pro dan Kontra terhadap keberlangsungan hidup politik Ahok. Kutub yang Kontra tak menginginkan Ahok ditampuk kekuasaan, sedangkan yang Pro masih menginginkannya.
Penonton Persekutuan Logika Publik
Kutub yang kontra kemudian berafiliasi dengan parpol. Mereka bersekutu untuk menjadikan Ahok musuh bersama. Bagi mereka, Ahok adalah preseden buruk yang tak layak menjadi panutan dan harapan. Apa yang pernah dibuat Ahok selama memimpin mereka bukan lagi sebuah nilai.
Publik yang bersekutu dengan parpol seolah meniadakan rekam jejak parpol yang seringkali mengecewakan mereka. Mereka tak belajar mendalam pada drama Ahok-Parpol sebelumnya bahwa ada agenda tersembunyi parpol yang merupakan penghianatan pada cita-cita kesejahteraan publik Jakarta itu sendiri. Logika publik ini terlalu terfokus pada pribadi Ahok yang anomali. Sebuah kepemimpinan yang mereka anggap tak beretika dan tak berestetika. Logika publik seperti itu kemudian terus dipupuk parpol yang dikecewakan Ahok. Parpol ingin logika publik ini menjadi bahan bakar mereka untuk merebut kekuasaan, sekaligus mengubur hidup politik Ahok.
Sementara dipihak lain, sebagian publik yang Pro perceraian Ahok kemudian menerima Ahok. Mereka ingin cita-cita yang sudah dijalankan bisa tuntas sesuai tujuan. Publik ini telah belajar banyak dari drama perceraian Ahok. Mata mereka dibukakan tentang tabiat parpol. Fokus logika mereka bukan pada etika dan estetika Ahok melainkan kata hati Ahok yang tertutup anomali politiknya.
 Mereka ingin kata hati itu lebih mengemuka dan tetap dijalankan guna membentuk peradaban dan habitus baru rakyat DKI. Satu hal yang unik yakni mereka tak menciptakan labeling ‘musuh bersama’. Karena bagi mereka hidup politik tidak untuk menciptakan musuh, melainkan kesejahteraan bersama tanpa pilih kasih.
Kini kedua kedua kutub sedang berproses dengan logikanya masing-masing. Ini adalah drama baru yang sedang tersaji. Masih belum ada kepastian siapa dari kedua pihak itu yang akan mengakhiri sequen drama dengan senyum sumringah.
Lalu siapa penonton drama itu? Mereka adalah ‘Publik Diluar Jakarta’. Semoga drama itu mampu memberi pembelajaran, menambah wawasan dan kecerdasan mereka untuk bekal membangun peradaban di tempat masing-masing. Bagi publik diluar Jakarta, jadilah penonton yang tertib, dan jangan lupa pakai celana.
------
Pebrianov10/3/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H