Soal penyesuaian ini ada pengalaman lain menarik sebagai pembanding. Pada tahun 2003 setelah melalui seleksi yang ketat, saya sebagai dosen PTN mendapatkan beasiswa studi lanjut pascasarjana. Sumber dananya adalah dari Asian Developmen Bank (ADB Bank), yang merupakan "bantuan" luar negeri ke pemerintah Indonesia.
Menurut informasi "kasak-kusuk", dalam hitungan ADB, masing-masing penerima beasiswa akan mendapatkan dana sekolah studi lanjut yang "sangat layak" sesuai kriteria dan perhitungan ADB. Intinya bahwa lebih besar dari penerima beasiswa BPPS yang bersumber dari APBN. Tapi realitasnya sangat jauh dari harapan. Besarnya beasiswa yang diterima "disamakan" dengan penerima beasiswa BPPS. Katanya dana ADB ini dikelola pemerintah dan sepantasnya mengacu pada kebijakan pemerintah, yakni berdasarkan "pemerataan dan keadilan" dengan penerima beasiswa dari sumber dana APBN yang sudah berlaku.
Kala itu, sejumlah kolega saya di kampus yang sudah lulus tes akhirnya mengundurkan diri karena dananya kecil. Dana tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari selama studi. Satu orang kolega berniat memberikan "jatah"-nya kepada saya. Namun, itu tidak bisa diberlakukan karena sesuai peraturan pemerintah kalau mundur berarti gugur dan tidak bisa mengalihkannya ke sesama penerima beasiswa. Bagi yang mundur, jatahnya diberikan kepada urutan rangking di bawahnya yang tadinya tidak menerima.
Saya memang sudah niat sekolah jadi tidak peduli kecilnya dana bulanan. Asalkan SPP terbayar oleh beasiswa, maka soal urusan dana beasiswa bulanan yang kecil bisa ditutupi pakai tabungan. Beberapa kolega bahkan ada yang menjual rumah dan mobil untuk menutupi kekurangan dalam menempuh studi lanjut.
Sebagai PNS yang katanya abdi negara, saya tidak mau protes. Kalau memang sudah kebijakan pemerintah dengan azas pemerataan dan keadilan, ya manut saja.
Dana beasiswa tadi yang nyata-nyata bersumber dari luar negeri saja harus menyesuaikan beasiswa bersumber dana APBN, apalagi bila sebuah peruntukan tertentu berdasarkan sumber murni dana APBN tentunya harus menyesuikan, bukan? Bila dikaitkan dengan konteks dana Pensiun Atlet berasal dari dana APBN, kenapa hal tersebut tidak menyesuaikan kebijakan pensiun PNS karier dan pejabat negara? Secara pribadi saya tak masalah bila besarnya dana pensiun atlet disamakan dengan pejabat negara setingkat dirjen, anggota DPR, atau menteri. Adalah sah-sah saja bila penghargaan kepada Atlet diberikan tertinggi, namun hendaknya tetap mengacu pada kebijakan pensiun tertinggi yang sudah ada.
Jasa Atlet Lebih Besar dari PNS atau Pejabat Negara?
Membandingkan besarnya jasa atlet dunia dengan PNS dan pejabat negara memang tidak gampang. Masing-masing punya sifat, variabel, atau apa pun namanya yang membedakan kedua dunia tersebut. Namun, ijinkanlah saya memberikan "perbandingan kasar" sebagai bayangan beda "nasib" kedua bidang tersebut.
Atlet mengorbankan masa mudanya di kamp pelatihan (pelatnas). Setiap hari berpeluh dan didera letih. Rawan cidera yang membahayakan jiwanya. Selama di kamp pelatihan atlet mendapatkan uang saku (gaji). Hidupnya ditanggung (makan,minum, tempat tingal/mess)