[caption caption="sumber gambar: akuadi96.files.wordpress.com"][/caption]"Iiihh, papa nih..! Itu salah... bukan begitu cara seperti Bu Guru ajarkan."
Demikian sekilas nada protes anak bungsu saya yang masih duduk di kelas V Sekolah Dasar ketika mendampinginya belajar di rumah. Dia nampak ‘ngeyel, mempertahankan cara yang diajarkan gurunya di sekolah. Awalnya kaget juga, Kompasianer kok diprotes anak, heu heu heu! Tapi kemudian saya malah jadi tersenyum riang gembira “Ahaaa ! Serasa dapat mainan baru, nih...!” Dalam hati salut juga. Si Anak ingat dan patuh pada perkataan gurunya di kelas. Berarti pihak sekolah/guru ‘berhasil’ dalam memberikan pengajaran.
Sementara di sisi lain, selaku orang tua ada tugas baru dalam mendampingi belajar sang Anak menyelesaikan tugas sekolahnya di rumah. Tugas itu adalah menemukan strategi jitu dalam memberi pemahaman pada anak tentang adanya cara lain menyelesaikan soal PR-nya.
Ketika itu PR yang diselesaikan adalah pelajaran Matematika. Soalnya adalah operasi penjumlahan dan pengurangan pecahan bilangan desimal. Berdasarkan buku cetak pegangan sekolah ada beberapa contoh soal dan penyelesaiannya. Sebenarnya contoh soal itu sudah cukup jelas sebagai dasar pamahaman. Namun dalam PR yang diberikan sekolah ada beberapa soal yang lebih kompkles, dan ‘tidak sama’ dengan contoh soal. Biasanya soal seperti ini merupakan pengembangan dari soal dasar tadi dan memuat soal ’jebakan’. Disinilah diperlukan kecerdikan, kesabaran dan ketelitian membuat setiap langkah penyelesaian soal.
Cara yang diberikan oleh gurunya di sekolah sudah benar, namun karena langkah itu panjang membuat beberapa hal di tampilan langkah tampak ramai dan bisa membingungkan yang akhirnya membuat si Anak salah menerapkan langkah penyelesaian. Terlihat adanya kebingungan sendiri dari sang anak sehingga penyelesaian jadi salah. Hasil akhir pun jadi salah. Dari jalan yang panjang itu, memang yang dituntut adalah ketelitian jangan sampai melakukan blunder oleh rumitnya catatan sendiri. Maka saya pun memberikan alternatif cara yang lebih simpel. Namun hal itu mendapat protes dari sang Anak karena cara itu ‘ tidak seperti guru ajarkan’.
Dalam situasi itu, diperlukan sikap bijak orang tua. Memang serba salah juga. Kita mengajarkan cara singkat namun kebenaran cara guru tak boleh dikesampingkan. Tentu hal itu ada tujuannya. Walau seringkali bikin gemes karena nampak bertele-tele dan bisa membuat bingung si Anak.
Hal ini berlaku bukan hanya pelajaran Matematika saja, melainkan pelajaran lainnya seperti IPA, Bahasa Indonesia dan Ilmu Sosial.
[caption caption="sumber gambar :www.esensi.co.id"]
Beberapa Strategi Memberikan Pemahaman
Pertama, membiarkan anak membuat langkah-langkah yang dia dapatkan dari pelajaran di sekolah. Dengan begitu kita pun bisa mengetahui apakah anak sudah paham dengan pelajarannya. Kalaupun sudah paham pada soal dasar, belum tentu ketika menyelesaikan soal yang lebih kompleks dan penuh jebakan dia bisa paham.
Kedua, sebelum ikut menyelesaikan soal, ada baiknya selalu menanyakan ke si Anak apa saja yang telah dia ketahui dari penjelasan bapak/ ibu guru atau dari bacaan buku pegangan sekolah. Di sini bukan tidak mungkin kita menemukan interpretasi keliru sang Anak dari penjelasan pelajaran yang dia terima. Tinggal kita sebagai orang tua memberikan penjelasan tambahan untuk memperkuat yang sudah ada. Atau memperbaiki keterangannya yang keliru dalam menangkap suatu penjelasan. Kadang di sini si Anak kembali ‘ngeyel’ bahwa apa yang dijelaskannya itu sudah sesuai apa kata guru. Naaah....ini adalah tantangan kita untuk mengambil jalan tengah yang baik dengan tidak menjatuhkan bapak/ibu guru di depan sang Anak. Kemungkinan besar adanya salah interpretasi.
Ketiga, selalu memberikan contoh-contoh riil di lingkungan rumah yang relevan dengan materi pelajaran, atau dengan cara membuat perumpamaan yang benar-benar dia alami. Misalnya menjelaskan fenomena “koefisien gesekan”. Bagaimana permukaan bidang kasar bisa memperlambat gerak sebuah benda, menghasilkan panas (kalor). Kita bisa mengambil contoh-contoh bidang kasar yang bervariasi di rumah, dan lakukan gaya suatu benda terhadap bidang itu.
Keempat, mengenali sifat sang Anak. Ini penting. Kita bisa melihat bahwa seringkali anak kita yang nampak ‘terlalu lincah dan cerdas namun punya sifat kurang teliti. Berarti faktor ketelitiannya yang menjadi fokus pertama kita menjelaskan kesalahannya.
Kelima, bersikap sabar walau sang Anak ‘ngeyel’ tak bisa pindah ke lain hati selain apa kata bapak/ibu gurunya yang belum tentu dia tangkap secara benar. Dalam situasi ini kita perlu memahami bahwa penjelasan gurunya kadang belum sempurna dikarenakan waktu yang terbatas di ruang kelas. Tugas kita adalah menyempurnakannya dengan contoh lain, perumpamaan, dan tak lupa diselingi cerita atau humor-humor segar agar ‘ngeyel’-nya mencair. Jangan sampai dia menjadi anak yang tidak terbuka, atau justru menjadi emosi dan tidak mau melanjutkan pelajaran. Bisa barabe, euy !
[caption caption="sumber gambar : dwinugros.files.wordpress.com"]
Kesadaran Diri Orang Tua sebagai Pendamping Belajar
Melakukan sebuah pendekatan strategi belajar anak memang mesti penuh kehati-hatian. Dan itu, bukan pekerjaan mudah bagi Orang Tua yang sudah kadung jadi orang 'jadul' bagi situai masa kini. Selaku orang tua tentunya sudah bergaul dengan banyak kebenaran untuk memahami suatu masalah. Namun kadang suka 'lupa' hal-hal dasar. Padahal dari penguasaan hal dasar itulah kelak jadi bekal pemahaman ragam kebenaran.
Kurikulum sekolah anak sekolah masa kini memang luar biasa 'hebat'. Sangat berbeda dibanding tahun 70-80an atau sebelumnya. Terkadang saya heran sendiri, materi materi pelajaran anak kelas V SD ’kok berat amat?’ Rasa-rasanya materi ini di jaman doloe baru kita terima ketika menginja kelas 2 SMP. Begitu juga materi kelas 3 SMP masa kini, merupakan materi kelas 2-3 SMA jaman doloe. Heu heu heu..! Sekarang bukan saatnya protes pada kurikulum, ya. Tapi menerima dan menjalaninya.
Ditengah-tengah memahami satu cara kebenaran bapak/ibu guru yang ada di benak anak, orang tua perlu memberikan alternatif kebenaran namun harus dilakukan secara hati-hati agar figur positif bapak/ ibu guru yang sudah terbentuk di benak sang anak tidak menjadi rusak. Namun di sisi lain, sang Anak perlu diajarkan pikiran terbuka. Untuk melakukan semua itu tentunya dengan komunikasi intensif dengan sang Anak, tidak hanya saat mendampingi belajar. Sambil bersantai atau jalan-jalan pun bisa dilakukan. Hal yang pertama dilakukan adalah dengarkan dulu apa yang sang Anak sudah ketahui ! Darimana dia mengetahui hal itu. Setelah amunisinya keluar semua, kemudia saatnya orang tua masuk !
Selamat dieyeli anak Anda ! Heu heu heu....
_______
Pebrianov7/02/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H