Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Memahami Realitas Diri dalam Berkompasiana

22 Januari 2016   21:49 Diperbarui: 23 Januari 2016   03:57 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar ; http://3.bp.blogspot.com"][/caption]

Apakah anda seorang Kompasianer aktif ? " Ya, betul".
Apakah anda sering menulis issu-issu aktual di Kompasiana? "Ya, betul".
Apakah anda tulisan anda itu berupa kritik? "Ya, betul".
Kenapa anda kemudian meninggalkan Kompasiana? "Saya ketakutan. Tulisan kritik saya itu bisa mencelakakan diri saya."
(# monolog dengan Pebrianov)
-----

Menulis sebagai Passion atau Beban ?

Orang yang menulis di media sosial, atau blog seperti Kompasiana dilatarbelakangi beragam faktor. Bisa jadi tuntutan tugas sekolah, tugas kantor/ atasan, tugas lembaga tertentu,  partai, dan lain-lain. Bisa pula bukan  sebuah tugas melainkan untuk kesenangan diri.

Para Penulis yang berlatarbelakang Tugas, kemungkinan keberlanjutan menulis-nya di Kompasiana hanya sebatas waktu dan bentuk tugas. Bila sudah memposting maka selesailah tugasnya. Dia tidak akan datang lagi ke Kompasiana walau sudah punya akun. 

Kemungkinan lain adalah si Penulis ditugaskan oleh lembaga tertentu sebagai 'Agen Rahasia' untuk "membuat pencitraan, membentuk opini tertentu atau melakukan counter attack'' terhadap tulisan  opini lain yang mengkritisi lembaganya, maka akan sebatas itulah dia berkompasiana. Tidak ada interaksi 'sharing and connecting' dengan sesama Kompasianer. Tidak melawat ke kanal di luar penugasannya.

Namun bila si 'Agen Rahasia' itu merupakan pribadi yang suka berinteraksi maka selain 'bertugas', dia juga memanfaatkan ruang Kompasiana untuk mengembangkan 'Passion'-nya. Dia menikmati Kompasiana sebagai anugerah.

Di sisi lain hal tersebut menjadi riskan bila semua geraknya dipantau oleh sang Atasan atau tim pemantau yang ditunjuk lembaganya. Dia bisa dianggap telah 'lebur' di dalam 'hura-hura' Kompasiana yang bisa membahayakan tugasnya tersebut.

[caption caption="http://www.papzimamzi.com/wp-content/uploads/2015/10/a-passion-your-life-passion-in-life.jpg"]

[/caption]

Menulis dengan Passion

Penulis Tugas berbeda dengan penulis  Lepas (merdeka). Penulis Lepas  hadir di Kompasiana sebagai pribadi yang bebas, dan memiliki Passion menulis yang kuat . Orang seperti ini menjadikan Kompasiana sebagai pesta diri, dia merayakan diri sendiri sebagai manusia bebas. Bisa juga seorang Penumenjadikan Kompasiana sebagai tempat pelarian dari realitas sosial yang menghimpit pemikirannya.

Penulis Kompasiana (Kompasianer) yang merayakan dirinya akan tampak dari cara dia menuangkan dan isi tulisan, termasuk tema-tema yang dipilihnya. Begitu juga penulis yang menjadikan Kompasiana sebagai pelarian diri dari himpitan realitas sosial. Saya tidak akan memberikan contoh nyata kedua macam Penulis tersebut. Ini demi etika. Ada rasa tidak enak, apalagi selaku penulis picisan dan pemalu, saya tetap menghargai kedua macam penulis ini.

Untuk mengetahui secara pasti lebih baik setiap penulis Kompasiana bertanya dalam dalam hati ; "Di posisi manakah saya?" Bukan tidak mungkin berada pada keduanya. 

Secara umum setiap orang sering mengalami himpitan realitas yang tiba-tiba hadir di sequen hidupnya. Pada saat itu 'butuh' pelepasan (ejakulasi mental). Di dunia modern ini menyediakan banyak pilihan, misalnya ; Pergi ke tempat hiburan malam-dugem, mengkonsumsi obat-obat terlarang-narkoba, menjadi teroris, dan lain sebagainya. Namun ada pula yang lari ke depan Layar Monitor ; Dia menulis di Kompasiana ! Hai hai hai...!

Sebuah umpama ; Ketika seorang Penulis berulangkali melihat emak-emak matang manggis pagi-pagi selalu memakai daster ke warung dekat rumah ; Hal ini menjadi himpitan realitas bagi si Penulis tersebut. Bisa jadi dia merasa terhimpit oleh relitas itu. Dia kemudian melarikan dirinya dengan cara di Kompasiana, bukan ke post satpam komplek atau ke rumah pak RT. Hak hak hak !

Itu hanyalah 'Sebuah Umpama', bukan 'Contoh'. Catet! Saya konsisten tidak menyertakan Contoh demi etika jurnalistik di Kompasiana. Heuheuheu!

Kembali ke laptop...

Kedua macam penulis 'lepas' ini punya gaya dan jiwa tersendiri yang khas. Ada pembaca yang membaca gayanya - ada yang tidak. 'No problemo' sejauh para pembaca mau menerima karya si Penulis untuk menambah wawasan diri mereka  tanpa 'menyerang' masalah pribadi penulis di ruang publik Kompasiana.

Jangan Tinggalkan Kompasiana Saat Diserang Kritik

Menulis itu butuh mental kuat, selain skill literasi dan naluri yang tajam. Mental lemah bisa ditempa jadi kuat, skill rendah bisa dilatih jadi tinggi.  Kompasiana merupakan tempat yang cocok membentuk semua itu karena kaya wacana, memuat interaksi, dan tentu saja Intrik.

Pilihan keluar dari Kompasiana karena ketakutan tidak akan menghilangkan keinginan atau hasrat untuk membuat Kritik. Suatu hasrat membuat kritik bermula dari sebuah kepedulian. Dan kepedulian berasal dari 'tabiat'.

Ada tipe orang yang sudah dari 'sono'nya punya sifat tak perduli (cuek). Ada pula yang selalu perduli. Kepedulian itu bisa berjalan seiring dengan Passion diri yang  dia kembangkan. Suatu kebetulan yang tepat  saat dia menemukan Kompasiana sebagai ruang yang mumpuni bagi 'Passion'nya untuk terus berkembang.

Para penulis yang sudah memiliki Passion menulis dalam berkompasiana sebaiknya menjalani segala dinamikanya yang pada akhirnya membentuk mental dan skill menulis lebih baik, serta menemukan jati dirinya dalam dunia menulis.

Meninggalkan Kompasiana saat diserang kritik- sementara passion menulis sedang mekar-sungguh disayangkan, karena itu berarti si Penulis telah menganiaya Passion yang dimilikinya. Dia hancur bukan oleh pihak luar (si Pemberi Kritik).

Kalau masih mentah saja sudah 'pergi' karena 'tak tahan kritik' dan 'ketakutan sendiri' maka bisa jadi  di tempat lain pun akan muncul sikap yang sama.

Pilihan paling baik dari yang ter- 'jelek' adalah ; "Lebih baik meninggalkan Kompasiana setelah matang, bukan saat masih mentah dalam hal skill menulis, dan mental sebagai Penulis.

Mengutip sebuah jargon politis dalam pilkada di Kalbar ; "Kalau berani jangan takut-takut. Kalau Takut-takut jangan Berani-berani."
Di sini , 'Takut dan Berani' tentunya dengan pertimbangan, dan kesediaan membuka diri terhadap dinamika.

Dari jargon tersebut boleh dong dikembangkan jadi ; "Kalau membuka jangan menutup-nutup. Kalau Menutup-nutup jangan Membuka-buka"

"Halah, jadi lebay lu, Peb !"
Biarin ! Yang penting aku tetap Kompasianer.
"Halaaah, Makin lebay...! Sana pakai celana dulu !"

Sekian.
Selamat Week End Temans....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun