Terpikir olehku dalam bingung, apakah Presiden memang tak boleh seperti pak RT? Kenapa aku dan teman-teman harus terpanggang di tepi jalan? Kenapa presiden tak menghampiri kami?
Tiba-tiba dibenakku muncul bayangan bu guru melotot. Huss ! Itu Saruu !
Tiba-Tiba bu guru memberi aba-aba siaap! Terdengar sirine berdenging semakin nyaring.
Lambaikan bendera !
Lambaikan bendera !
Bernyanyilah !
Konvoi mobil semakin dekat. Kacanya gelap. Berlalu. Begitu laju. Lambaian bendera tak boleh berhenti. Nyanyian tak boleh usai. Teruss...dan terusss..! Sampai tak ada lagi konvoi melaju.
Aku tak tahu, yang mana mobil presiden. Tak kutahu bu guru tahu atau tidak. Kulihat dia ikut melambaikan bendera. Tatapannya ke depan, tak ada wajah presiden di lensa matanya !
Dimana presidenku? Dimana pemimpinku? Apakah dia melihat lambaian benderaku? Apakah dia dengar nyanyian kami? Apakah dia melihat bulir keringat kami?
Atau kah justru Presiden tertidur kekenyangan dibalik mobil kaca gelapnya?
Usai sudah lambaian, tak sekalipun kulihat langsung presiden selain di tivi. Tak pernah berani kutanya bu guru.
Bu guru...
Kini aku sudah besar. Bulan lalu kulihat seorang Lelaki Kurus berbaju putih. Kata rakyat dia Presiden. Dia datang ke kota kita. Berbaur dengan banyak orang. Begitu dekat. Larut di keramaian. Ada ibu-ibu lusuh, anak-anak, bapak-bapak tua sederhana. Tak kulihat anak-anak berderet berdiri sempurna, berseragam dan terpanggang dengan bendera kecil di tangan.
Bu Guru...
Kemarin aku ikut makan bersama Presiden. Kulihat menunya tak lebih acara kawinan anak tetangga rumahku.
Turutlah dia berderet mengantri makanan bersama kami sembari dia bercerita. Tertawa. Penuh canda.
Bu Guru, inilah Presiden. Kulihat langsung. Kusalami dia. Orangnya kurus seperti tukang sate yang sering lewat di muka rumahku. Dia seperti pak RT ku dulu.