[caption caption="Sumber gambar ; http://3.bp.blogspot.com"][/caption]
Dulu bersama kawan-kawan aku berdiri berderet di tepi jalan. Berseragam pramuka. Bendera merah putih kecil di tangan.
Tadi disekolah bu guru berpesan 'nanti tak boleh begitu dan begitu. Tapi harus begini dan begini'.
Kami terpanggang panas matahari menyengat kota. Sejak pagi, entah berapa jam kami di tepian. Sikap sempurna. Keringat mengucur di kening, punggung dan ketiak. Tapi kata bu guru semangat kita tak boleh meleleh.
Ada apa? Kenapa ?
Presiden akan datang ! Presiden akan datang !
Kita harus hormat!
Kita harus sambut !
Kita harus..bla..bla..bla...!
Kala itu terbentuklah di benakku : Presiden itu dewa ! Seperti cerita komik yang sering kubaca sampai kumal. Sosok yang hebat. Sakti. Jauh, tak tersentuh.
Kata bu guru, presiden itu pemimpin kita.
Tapi aku bingung...
Kata bu Guru pula, Pak RT itu pemimpin kita. Tapi tak pernah kami berseragam berderet terpanggang matahari dengan bendera kecil menyambut pak RT.
Sering kulihat pak RT terpingkal-pingkal tertawa berbaur bersama warga. Ada Ayahku, Daeng Udin, bang Togar, kakak Tobias, pak Ngah, pak Mude, koh Asiang, pak Ujang, dan banyak lagi....kala mereka kerja bakti di kampungku. Pak RT kulihat ikut turun ke parit bersama warga. Mereka bekerja. Tuntas bersih kampungku.
Terpikir olehku dalam bingung, apakah Presiden memang tak boleh seperti pak RT? Kenapa aku dan teman-teman harus terpanggang di tepi jalan? Kenapa presiden tak menghampiri kami?
Tiba-tiba dibenakku muncul bayangan bu guru melotot. Huss ! Itu Saruu !
Tiba-Tiba bu guru memberi aba-aba siaap! Terdengar sirine berdenging semakin nyaring.
Lambaikan bendera !
Lambaikan bendera !
Bernyanyilah !
Konvoi mobil semakin dekat. Kacanya gelap. Berlalu. Begitu laju. Lambaian bendera tak boleh berhenti. Nyanyian tak boleh usai. Teruss...dan terusss..! Sampai tak ada lagi konvoi melaju.
Aku tak tahu, yang mana mobil presiden. Tak kutahu bu guru tahu atau tidak. Kulihat dia ikut melambaikan bendera. Tatapannya ke depan, tak ada wajah presiden di lensa matanya !
Dimana presidenku? Dimana pemimpinku? Apakah dia melihat lambaian benderaku? Apakah dia dengar nyanyian kami? Apakah dia melihat bulir keringat kami?
Atau kah justru Presiden tertidur kekenyangan dibalik mobil kaca gelapnya?
Usai sudah lambaian, tak sekalipun kulihat langsung presiden selain di tivi. Tak pernah berani kutanya bu guru.
Bu guru...
Kini aku sudah besar. Bulan lalu kulihat seorang Lelaki Kurus berbaju putih. Kata rakyat dia Presiden. Dia datang ke kota kita. Berbaur dengan banyak orang. Begitu dekat. Larut di keramaian. Ada ibu-ibu lusuh, anak-anak, bapak-bapak tua sederhana. Tak kulihat anak-anak berderet berdiri sempurna, berseragam dan terpanggang dengan bendera kecil di tangan.
Bu Guru...
Kemarin aku ikut makan bersama Presiden. Kulihat menunya tak lebih acara kawinan anak tetangga rumahku.
Turutlah dia berderet mengantri makanan bersama kami sembari dia bercerita. Tertawa. Penuh canda.
Bu Guru, inilah Presiden. Kulihat langsung. Kusalami dia. Orangnya kurus seperti tukang sate yang sering lewat di muka rumahku. Dia seperti pak RT ku dulu.
Bu Guru, kuingat dirimu. Tak kulupa pertanyaan kanak-kanakku.
Siapa Pemimpin itu?
Siapa Presiden itu. Dewa kah ?
Tidak bu Guru, dia manusia biasa. Tak tertutup kaca mobil gelap. Tak ada lambaian bendera kecil.
Berarti selama ini bu Guru telah berbohong,
Bu guru Bohong !
Bu guru Bohong !
------
Pebrianov18/12/2015
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H