Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Canda Si Ibu Tanpa Disadari Bisa Bully Sang Anak

27 November 2015   23:24 Diperbarui: 28 November 2015   14:58 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Ibu dan Anak || Sumber gambar ; http://www.kesekolah.com/images2/big/2015060811594017894.jpg"][/caption]

Mungkin si Ibu tak ada maksud membully. Dia hanya ingin bercanda bersama kawan-kawan seperjuangannya. Membangun keceriaan bersama di sela waktu tunggu. Tapi tanpa disaderinya, mereka telah berbuat hal yang fatal.

Siang itu saya menyempatkan diri menjemput anak di sekolahnya. Seperti biasa sebagai penjemput "minoritas" harus tahu diri, dan harus mencari posisi di pinggir. Mayoritas penjemput adalah para "Mamud" (Mama Muda) matang manggis. Mereka berkumpul sesama ibu-ibu penuh canda di kantin sekolah yang luas dan reprensentatif.

Sementara di pinggiran lainnya terliahat kaum bapak. Jumlahnya hanya beberapa orang. Mereka sibuk sendiri dengan hp masing-masing. Beberapa saling terlibat pembicaraan serius namun tidak bergerombol seperti kaum ibu. Dari yang sering saya alami, isi pembicaraan kaum bapak itu diduga tak jauh dari isu politik dan pekerjaan atau tentang sepakbola.

[caption caption="http://m.iberita.com/wp-content/uploads/2014/02/jangan-bergosip.jpg"]

[/caption]

Anak sebagai Bahan Canda

Kali ini saya menyendiri sembari 'asik masyuk 'ber-Kompasiana' dengan senyum ditahan karena membaca komen kocak para Kompasianer. Mau ngakak terkangkang-kangkang kok, ya maluu.

Tiba-tiba pecah suara ngakak dari kumpulan para ibu. Kami kaum bapak tentu menolah ke sumber suara. Terlihat seorang anak laki-laki berusia sekitar 3-4 tahun berada di antara kumpulan kaum ibu itu. Anak itu merupakan salah satu anak dari para ibu itu.

Anak itu tanpa celana, karena sudah dilepas oleh ibunya setelah tadi pipis dicelana. Herannya, Si Ibu bukannya langsung memasangkan celana yang baru, malah tertawa kegirangan bersama teman-temannya melihat anaknya yang masih telanjang terlihat kesana kemari, 'bingung' dan setengah menangis dengan raut muka pucat, ketakutan walau tampak lucu dan menggemaskan. Si Anak berusaha memeluk ibunya tapi si Ibu mengelak sambil tertawa. Demikian juga para ibu yang mengelilinginya sambil tertawa-tawa berusaha mengelak ketika si Anak mencoba mendekat atau memeluk.

Melihat si Anak makin kebingungan dengan raut muka lucu, makin riuh-rendahlah tawa para ibu itu sambil berseru "Hayooo....hayooo...hayoooo". Entah apa yang mereka tertawakan dari si Anak kecil itu. Serba tak jelas. Apakah ketelanjangannya, kebingungannya, raut muka lucunya, mau mencari perhatian saya (Uupss ! In mustahul...heu heu heu), atau kombinasi kesemuanya.

[caption caption="http://family.fimela.com/resources/news/2014/05/07/1849/paging/3841/640xauto-mengapa-anak-menjadi-pelaku-bullying-140507c-3.jpg"]

[/caption]

Beberapa bapak yang tadinya menoleh hanya tersenyum sejenak kemudian kembali ke aktifitas semula, ada yang melanjutkan perberbincangannya atau main hp. Namun saya justru geram, kesal dan mau marah melihat ulah para ibu itu. Saya pikir mereka sudah keterlaluan bercandanya. Si anak yang tak tahu apa-apa jadi bahan candaan yang membuatnya makin terlihat ketakutan.

Saking geramnya, saya tinggalkan tempat itu menuju ke arah taman dekat parkiran. Saya memaki dalam hati...Kepar#t, Anjr#t, ed#n...g#la..! Sungguh hal itu bukan sebuah lelucon. Rasa kesal terhadap kumpulan ibu itu bercampur dengan kesal terhadap diri sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa untuk membela si Anak kecil tersebut. Di kumpulan itu ada ibu si Anak, artinya dialah yang betanggung jawab. Namun di kumpulan itu dia berbuat tak bertanggung jawab kepada anaknya demi lelucon bersama teman-temannya.

Bercanda dan Membully

Saya tak habis pikir dengan kumpulan para ibu itu. Kalau dilihat dari dandanan, baju yang dipakai, jenis kendaraan pribadi yang dipakai, beberapa membawa baby sitter, maka saya pikir mereka memiliki status sosial-ekonomi yang tinggi. Apalagi sekolah ini merupakan salah satu sekolah elit dan relatif mahal.

Namun cara bercanda mereka terhadap anak kecil itu sungguh bikin kesal. Rasanya tidak pantas mereka lakukan mengingat anak tersebut belum tahu apa-apa dengan candaan orang dewasa. Bukan tidak mungkin hal itu bisa membuatnya trauma terhadap kumpulan orang atau lainnya.

[caption caption="http://3.bp.blogspot.com/-i9AM-uVdBbk/T8b9-_4YoyI/AAAAAAAAABw/Q5V5Bo22940/s1600/aW1hZ2VzL3Nma19waG90b3Mvc2ZrX3Bob3Rvc18xMzA5MjcxOTI5X1BPa0VlNVB5LmpwZw==.jpg"]

[/caption]

Anak Kecil BUKAN Bahan Candaan Orang Dewasa

Anak kecil punya jiwanya sendiri yang jauh berbeda dengan orang dewasa. Hampir semua orang tahu akan hal ini. Namun seringkali lupa ketika bercanda. Apalagi bila dilakukan dalam kumpulan.

Menjadikan anak kecil sebagai bahan canda dalam kumpulan dewasa bukan tindakan yang bijaksana. Si anak menjadi obyek yang tak berdaya membela dirinya dalam canda itu. Dia tiba-tiba menjadi orang asing di dekat ibunya dan teman-temannya. Ketakberdayaan si Anak menjadikannya bukan saja sebagai obyek canda, namun telah menjadi korban bully orang dewasa.

Konteks bercanda adalah membangun rasa dan suasana humor yang mengikat kebersamaan dalam satu kesatuan. Ada kesetaraan antara si 'obyek dan subyek canda'. Pada tingkatan lebih lanjut, bercanda bisa meningkatkan intelektualitas bersama.

Sementara membully lebih mengedepankan superioritas subyek terhadap obyek, walau disampaikan dengan bercanda. Lebih celakanya lagi bila obyek yang terlibat adalah sosok manusia kecil yang tak berdaya membela diri di tengah keramaian.

Dalam konteks peristiwa tadi, maksud hati si Ibu ingin membangun humor bersama kawan-kawannya namun dia khilaf dan terjebak situasi-eforia canda dengan menjadikan anaknya obyek bully. Mereka ciptakan superioritas yang ekstrim kepada anaknya sendiri. Justru hal itu sangat jauh dari sebuah humor yang sehat.

Orang dewasa memang tak bisa lepas dari canda. Ditengah himpitan permasalahan hidup orang butuh refreshing murah-meriah. Berkumpul sesama kawan setara, bercanda bersama bisa menjadikan salah satu pelepasan dari himpitan tadi. Tapi mesti kita ingat, sangat tidak bijaksana bila anak sendiri dijadikan obyek canda bersama teman sesama orang dewasa.

Bukan begitu, teman-teman?

Sekian

---

Pebrianov28/11/2015

[caption caption="http://family.fimela.com/resources/photonews/2012/08/10/180/640xauto-7-aktivitas-penambah-cinta-ayah-dan-anak-120810l-5392bbc911d8d.jpg"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun