[caption caption="sumber gambar ;http://smeaker.com/nasional/wp-content/uploads/2015/10/019537000_1439545037-Postur-APBN-2016-3.jpg"][/caption]
Politik bagi sebagian orang awam seringkali dilihat dan dibaca secara flat. Permukaan suatu peristiwa politik hamparannya datar. Apa yang tersaji di ruang publik itulah kemudian dimaknai secara spontan sesuai lingkup kejadian saat itu.
Saat melihat beragam aksi seronok politikus di parlemen, publik pun bereaksi secara parsial (per bagian) yang menghasilkan gelombang sikap antipati masif, dan sebagian lagi memberikan apresiasi.
Lebih lanjut sebagian publik kecewa setelah sampai di hamparan akhir cerita. Ternyata permukaannya tak seperti dugaan sebelumnya. Akibatnya timbul perasaan telah dibohongi, padahal sesungguhnya realitas di hamparan politik sejak awal memang tidak flat, melainkan berkontur, terdapat rona di beberapa tempat tertentu dengan dimensi yang beragam. Uniknya rona itu bisa berubah tak terduga, tanpa pola waktu dan tempat. Kejadiannya bersifat insidental menurut kepentingan tertentu.
[caption caption="sumber ; http://img1.beritasatu.com/data/media/images/medium/1390905100.jpg"]
Awal Mula Peta Berkontur
Pilpres 2014 lalu melahirkan dua kubu politik, yakni KIH dan KMP yang 'saling berseberangan'. Kabinet (eksekutif) dikuasai KIH sementara parlemen (Legislatif) didominasi KMP (diketuai Prabow-pesaing Jokowi saat pilpres).
Keduanya mengklaim bekerja demi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Namun, realitas yang tersaji di publik justru mereka 'gontok-gontokkan' dalam ruang mengelola klaim tersebut. Dengan tingkat aksi-reaksi berbeda, masing-masing pihak menilai 'lawannya'. Bagi KMP segala tindakan KIH selaku pemenang pilpres seolah tak ada yang benar. Sebaliknya, KIH menganggap KMP tak mendukung dan tak mau memahami garis kebijakan pembangunan yang mereka canangkan.
Perseteruan itu memunculkan 'aroma dendam kesumat' di setiap peristiwa politik. Antara ada dan tiada. Baunya tercium. Kehadirannya terasa namun wujudnya tidak tampak karena selalu akan terbantah perspektif dan alibi 'demi rakyat'. Belum lagi ulah 'tak etis' beberapa petinggi DPR yang berafiliasi KMP sering mengeluarkan pernyataan bombastis bertendensi 'melecehkan' presiden hingga saat ini.
Kalau dilihat saat itu seolah Indonesia akan hancur karena adanya perpecahan anak bangsa-tidak kompaknya dua kutub politik.
Namun apa yang terjadi? Apakah Indonesia hancur dan tak sempat membangun, seperti di banyak negara lain yang porak-poranda oleh masalah politik internal? Jangankan untuk sempat membangun, untuk bertahan hidup pun negara-negara itu harus ditolong dunia internasional.