Pemerintahan Jokowi telah mencatat aspirasi DPR ingin dibangunkan kantor baru yang lebih representatif. Di awal wacana telah dijawab bahwa pemerintah tidak akan mengakomodasinya. Uang lebih diutamakan untuk kepentingan rakyat banyak.
Ketika pemerintahan Jokowi ingin memuluskan RPBN 2016, mereka mencatumkan anggaran gedung DPR. Di sisi lain sebagian DPR mengatakan RAPBN 2016 tidak pro-rakyat- salah satu alasannya ada dana PMN 39 triliun untuk BUMN di RAPBN. Gerindra menolak RAPBN. Prabowo pun didatangi menteri Jokowi. Ada dialog dan deal. Akhirnya disepakati PMN ditunda. Tapi anggaran gedung DPR jalan terus.
Sebenarnya alasan menolak penyertaan modal pada BUMN cukup logis, bahwa seharusnya BUMN menghasilkan profit untuk negara, bukannya justru meminta uang negara. Namun, logika idealis DPR itu menjadi paradoksal ketika dana pembangunan gedung DPR disepakati. Kenapa paradoks?
Bila melihat potensi ekonomi, maka sejatinya uang PMN itu justru lebih berpotensi menghidupkan roda ekonomi lebih luas lewat pengembangan usaha BUMN. Bandingkan dana pembangunan ratusan milyar 'cuma' menghidupkan ekonomi di lingkup kecil proyek.
Antara pemerintah Jokowi dan DPR telah menghadirkan aksi-aksi politik yang seronok. Pernyataan awal tak selamanya kokoh dipegang. Bisa berubah menurut kepentingan. Ibarat lidah tak bertulang, maka segala kata di awal ucapan bisa diubah di akhir ucapan demi 'kepentingan rakyat'. Inilah salah satu contoh aktual hamparan politik yang berkontur dan berona.
Sikap Publik yang Seharusnya
Adanya 'inkonsistensi' sikap pemerintah dan DPR merupakan keniscayaan dalam dinamika politik. Perseteruan dua kubu bukanlah sebuah kiamat yang mematikan negara ini. Segala sesuatu bisa dibicarakan untuk mendapatkan titik temu atas nama kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Publik sejatinya tak perlu kecewa berlebihan setelah melihat realitas kontur hamparan politik itu. Tak perlu larut sakit hati terhadap inkonsistensi pemerintah-DPR-Politikus sehingga sebagian publik jadi 'Hater Speech'. Hal tersebut tak akan ada gunanya.
Dalam sistem demokrasi, segala keputusan berdasarkan pemikiran kelompok. Itu berarti adanya asas keseimbangangan-setiap pihak saling mengawasi. Dan dalam dinamikanya mereka berebut eksistensi sehingga ada aksi Dagang Eksistensi.
Kita jangan lagi melihat politik secara flat, karena itu akan membuat kita sakit hati dan kekecewaan atau gagal move on dalam realitas lingkungan.
Kita harus mampu belajar melihat hamparan politik berkontur dan berona itu sekaligus mampu terus memantau politik dagang eksitensi itu agar tak berubah menjadi dagang sapi.