Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Habis Gelap Pakde Kartono, Terbitlah Terang Ellen Maringka

13 Oktober 2015   11:05 Diperbarui: 13 Oktober 2015   16:09 1407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar ;http://2.bp.blogspot.com/-ode9wwvCU-w/UmPPKOhTgRI/AAAAAAAAEW0/Ly5EPWvBtfA/s640/Permainan+Ilusi+Gambar.jpg"][/caption]

Sosok Fenomenal Ellen Maringka telah hadir kembali usai asap tebal Pakde Kartono beberapa waktu lalu sempat menyesakkan dada sebagian rakyat Republik Kompasiana.

Tadinya saya putuskan kembali menulis isu-isu politik dari mainstream media. Sudah kangen jadi 'pengamat' kacangan bidang politik yang penuh intrik dan dinamika. Ada sisi yang tak terlihat awam di balik berita. Tulisan kacangan itu sudah saya mulai dengan judul 'Membaca "Titik Serang" Lawan Terhadap Ahok di Pilkada DKI 2017'

Namun sebagai Lelaki Pemalu yang suka bersembunyi di bawah meja bila terjadi gempa, saya tiba-tiba gatel sendiri ketika membaca tulisan Adhieyasa yang salah satu isinya mengatakan Ellen Maringka telah menulis kembali. Maka dengan semangat malu-malu kucing liar, saya pun berburu tulisan itu. Dan ternyata saya temukan.

Masih dengan ciri khasnya yang menawan dalam menulis, Ellen Meringka membuat klarifikasi. Sebuah momen penting yang telah ditunggu banyak Kompasianer selain kerinduan humanis 'diluar kisruh Pakde Kartono'. Tampilnya Ellen Maringka kini bagai 'habis gelap terbitlah terang'.

Dahulu kala, di suatu negeri elok bernama Kompasiana hiduplah sepasang Raja dan Ratu Fenomenal bernama Pakde Kartono dan Ellen Maringka. Keduanya tampil menonjol, kompak dan serasi.

Ibarat penyerang sepakbola , mereka dua striker handal yang saling mengisi, kapan Ellen menjadi tandem (second striker) bagi striker utama Pakde Kartono, dan atau sebaliknya kapan Pakde Kartono yang bertindak jadi tandem bagi Ellen Maringka selaku striker utama. Pokoknya, gerakan tanpa bola dan penetrasi keduanya sering bikin repot lawan, sekaligus menjadi manuver indah di tatapan tribun penonton.

Pasangan banal Pebriano-Desol yang sempat membuat Kompasiana berlendir dan berdarah pun tak mampu menandingi akselerasi fenomenalnya pasangan Pakde Kartono-Ellen Maringka. Itu sebuah fakta masa lalu. Sebuah sejarah yang terukir dan tercatat di republik Kompasiana.

Sampailah kemudian 'peristiwa sejarah' penuh misteri membuat Ellen Maringka bagai ditelan Black Hole di perjalanan mengukir sejarah Kompasiana. Dia senyap. Meninggalkan sejuta tanya. Sementara sang tandem yakni Pakde Kartono terus terbang melaju melewati awan biru samudra Kompasiana.

Namun, kehendak sejarahpun berkata lain. Pakde Kartono pun harus jatuh menabrak tembok gunung ketika dia dengan sombongnya berakrobatik di sekitar lembah. Dia melupakan fitur-fitur instrumentasi cokpit mendasar yang sudah dikuasainya. Hanya karena ingin tampil seksi sebagai solo pilot ketika dua pramugari cantik matang manggis mampir di cokpit dan duduk dipangkuannya di kursi Pilot.

Kata bu guru 'Lelaki bisa tampil juara karena wanita, tapi oleh wanita juga Lelaki bisa hancur lebur kayak bubur terkubur'.

Hilangnya Ellen Maringka dari akselerasi secara politis merupakan misteri yang 'belum usai'. Banyak teori konspirasi yang bisa dimunculkan guna memuaskan hasrat sensasi kaum penikmatnya. Ada tidaknya keterkaitan dengan pakde Kartono menjadi titik paling sensual di lekuk jagat maya Kompasiana.

Namun sejarah tetaplah sejarah. Sejarah bukanlah semata fakta. Sejarah adalah sudut pandang yang ditampilkan untuk berpanggung di realitas kekinian. Memberi pembelajaran akan masa lalu. Sementara fakta otentik adalah milik masa lalu. Fakta adalah milik misteri yang tak bisa diganggu gugat. Demikian juga Ellen Maringka dengan misterinya.

Kita tak hendak menggugat misteri itu. Karena cukuplah tampilnya Ellen Maringka kini membuatnya mengukir kembali sejarah diri di panggung kekinian. Sebuah panggung ketika Pakde Kartono justru tenggelam dan terkubur.

Dari panggung tersebut ada sisi ironi yang seronok. Menarik. Fenomenal. Dan lagi-lagi menjadi kanon sejarah yang baru di Kompasiana. Bahwa Fenomenalitas Ellen Maringka hilang mendadak. Tapi kemudian tampil elok justru di jarak waktu tak jauh ketika fenomenalitas Pakde Kartono menghujam ke inti bumi. Seperti siang berganti malam, tanpa melewati sore dan pagi.

[caption caption="http://picturerumahminimalis.com/wp-content/uploads/2014/04/gambar-hitam-putih-keren.jpg"]

[/caption]

Kita tak perlu lagi bertanya. Tak perlu lagi berkonspirasi. Karena hal itu sangat melelahkan di hiruk pikuk sukacita panggung Kompasiana. Kenapa demikian ? Karena hitam-putih dan siang-malam punya mekanismenya sendiri yang memuat misteri. Dan itu semua kelak menjadi milik sejarah pula. Bukan milik faktualitas. Seperti faktualitas setiap anda dan saya di Kompasiana pun telah menjadi sejarah dan sedang mengukir sejarah.

Sementara, sejarah itu, sekali lagi hanyalah sudut pandang yang 'kebetulan' mengemuka, yang saat ini kita bersama tulis dan ukir di langit benak. Biarlah sejarah itu tak selalu bisa bergandeng dengan Faktualitas, karena itulah sejatinya hukum sejarah. Tak ada yang bisa mengubahnya sepanjang kita semua hiduap dalam ruang dan waktu yang terus berputar. Putarannya itu seringkali kejam terhadap faktualitas !

Kita, hanya bisa menyimak diri kita sendiri di putaran itu. Di ruang dan waktu itu. Di sejarah itu.

Dan cara paling bijak adalah menyimaknya sekaligus menikmatinya dengan sukacita penuh pesona ! Jadikan penghiburan. Jadikan rekreasi edukatif ! Karena dengan begitulah kita menjadi pelaku sejarah yang berbahagia, dalam pahit dan manis, dalam untung dan malang, dalam suka dan duka peristiwa.

Demikianlah Ellen Maringka, selamat datang kembali di Kompasiana. Selamat kembali mengukir sejarah bersama-sama para Kompasianer dengan penuh suka cita.

Jangan lupa kripik pedesnya, ya. Celeguuk !
Heuheuheu....

------

Delay Time-Ruang Tunggu Bandara Husen Satranegara, Bandung13/10/2015

 

Pebrianov

(tuhan kata-kata)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun