[caption caption="sumber gambar ; hallojakarta.com/wp-content/uploads/2015/09/.jpg"][/caption]
Dia pernah jadi menteri. Urus olah raga, sebuah dunia orang sportif. Urus orang muda, sebuah dunia orang enerjik dan kreatif. Sejatinya bisa jadi orang sportif dan serasa muda selamanya.
Dia pandai berbicara. Banyak teman. Berencana nyalon jadi gubernur DKI. Melawan Ahok Gubernur sekarang yang sibuk bekerja.
Tadinya tak berkehendak nyalon jadi gubernur. Tapi karena didesak dukungan berbagai pihak. Akhirnya mau 'nyalon'. Mau jadi Gubernur karena dapat desakan. Bukan dari niat hati sendiri. Tak masalah, bukan?
Cuma aku bingung. Yang mana duluan? Harusnya dimaulai dari niat diri sendiri atau didesak baru niat? Entahlah.
Dulu kata bu guru, semua harus dari niat sendiri dulu. Katakan dengan tegas soal niat sejak jauh hari. Barulah melakukan usaha mempersiapkan diri mewujudkan niat. Cari teman, cari dukungan, cari partai, dan semua perangkat menuju niat. Bukan terbalik. Kalau kerja karena desakan hasilnya tidak bagus. Bukan dari niat, nanti ogah-ogah. Begitu kan bu guru?
Jadi politikus katanya tak suka SARA. Tapi ternyata nyerempet SARA. Mau dukung lawan incumben kalau sang lawan mau masuk agamanya. Untunglah pandai berkelit. Kalimat diralat. Istilahnya Klarifikasi. Jadi yang tertayang visual menjadi tak ada arti oleh lisan belakangan. Tak apalah. Daripada malu.
Aku jadi bingung. Mau melawan pesaing, tapi mendukungnya dengan syarat. Kenapa begitu? Sebenanrnya kamu maunya mendukung lawan atau berlaga mengalahkan lawan? Aku makin bingung.
Sepintas namanya mirip kawanku di kebun sawit, Adhieyasa namanya. Ketika ditengok-tengok ternyata bedanya jauh sekali. Kawanku itu tak pandai bersilat lidah. Apalagi bersilat kata. Karena cuma mampu 150 saja.
Dia lebih mirip denganku. Pandai berkelit. Sama-sama pandai bersilat. Dia di lidah, aku di tulisan. Dua-duanya ada di kata-kata.
Cuma bedanya. Aku tak 'nyalon' jadi Gubernur DKI, sebuah jabatan yang sejatinya bermula dari niat bukan didesak dan bersilat lidah. Jakarta bisa tak beres nantinya karena sibuk bersilat sesuai kepandaian, bukan bekerja. Sementara di Kompasiana, aku berangkat dari niat, bukan didesak untuk mengalahkan pesaing. Makanya, disini aku jadi hepi dan makin pandai.