[caption caption="sumber gambar ; https://akarsejarah.files.wordpress.com/2014/12/artikel.jpg"][/caption]
Hari ini saya telah membaca beberapa tulisan rekan Kompasianer. Mereka membahas tentang 'tulisan' berkompasiana.
Cukup unik dan menyentil. Suatu sajian Introspektif yang penuh inpiratif. Dari situ, saya kemudian melihat kembali rekam jejak tulisan saya yang jumlahnya 540an artikel. Oh, ternyata kali ini ada sesuatu yang saya temukan di sana.
Saya perhatikan tulisan itu kebanyakan terlalu sederhana dan apa adanya. Tidak dikemas dengan apik. Mungkin selama ini saya berpegang pada 'menulis ya..menulis saja'. Yang terjadi adalah menulis hanya dengan naluri, tanpa misi dan strategi.
Kata teman dari dunia nyata saya, saat ini hidup dengan Naluri saja tidak cukup untuk eksis. Paling hanya untuk survive. Itu pun kalau beruntung. Hal itu analog dengan binatang yang hidupnya mengandalkan 'insting'. Jadi bila Naluri tak ditambahkan Misi dan Strategi dalam satu konsep integral dan komprehensif bukanlah cermin kehidupan manusia modern. Aduh ! Maaf, bahasanya rumit dan serius.
Seperti permainan sepak bola. Bekal Naluri saja tidak cukup. Bakat alam saja tak akan memadai dalam perhelatan laga modern. Setiap tim dan pemain harus punya strategi, misi dan visi bermain agar bisa bermain indah dan menang. Menang dengan skor besar lewat suatu strategi jitu, tanpa mengeluarkan energi yang besar. Mirip semboyan "Less is More" oleh Ludwig Mies van der Rohe, arsitek besar awal abad modern yang mengedepankan rasionalitas dalam berkarya.
[caption caption="sumber gambar ; https://www.maxmanroe.com/wp-content/uploads/2013/01/Tips-Cara-Menulis-Artikel-Yang-Baik.jpg"]
Begitu juga menulis. Seperti kata teman yang hidupnya serius di dunia nyata. Harus berupa karya besar, bermutu tinggi. Dia katakan tulisan saya di Kompasiana tak bermutu. Terlalu banyak 'main-mainnya'. Hanya menjadi penuangan kepuasan diri sendiri. Terlalu menggampangkan masalah. Banyak 'ha.ha..ha.hi..hi..' yang tak perlu. Tak memberi kontribusi pada pemikiran baru bagi pembangunan pembaca, masyarakat, negara, dan kemanusiaan.
Mungkin ada benarnya. Saya jadi ingat salah satu komen seorang Kompasianer serius di sebuah tulisan saya terdahulu. Dikatakannya tulisan saya tak lebih seperti koran seharga seribu perak. Murahan.
Ah, mungkin tulisan saya jadi salah satu pemberi kontribusi menurunnya mutu Kompasiana dan anjloknya peringkat di Alexa. Oh, tentu saja karenanya saya berdosa. Gara-gara 'ego narsis' menulis yang tanpa saya selama ini, Kompasiana menanggung akibat !
Kasihan, bisa-bisa Kompasiana gulung tikar. Para admin di PHK, anak istrinya menderita. Kang Pepih balik ke Kompas cetak dengan wajah tertunduk malu. Waduh ! Bisa-bisa seluruh jajaran admin Kompasiana melakukan Harakiri masal ! Uhuuiii ! Eehh...huss !
Kembali ke pesan si Teman yang hidupnya lurus dan serius. Saya terdiam, tertunduk malu sambil memainkan ujung rambut. Tapi tak sampai sembunyi di bawah kolong meja. Bukan apa. Kata bu guru ; tak etis bila orang sedang bicara dengan kita malah pergi atau sembunyi di bawah meja. Harus tatap matanya, simak dan berikan senyum terindah. Walau itu mungkin menyakitkan hati sekalipun. Tak boleh marah. Harus bisa menjaga emosi. Bersikap punya bekal sikap munafik ternyata diperlukan untuk menjaga pertemanan. Stabilitas sosial. Dan menciptakan kedamaian. Ah, beruntunglah pernah sekolah, pernah dengar wejangan bu guru.
Mendengar kritik dari teman adalah sajian perpektif tentang diri sendiri oleh orang lain. "Segera ambil hikmahnya". Itu cara terbijak menghadapi semua situasi, baik maupun buruk. Sebuah kritik adalah sah-sah saja dunia persilatan intelektual kontemporer. Sebentuk sharing - yang sejatinya jauh dari dokrin, apalagi dogma.
Segala perpektif telah disampaikan. Intinya bahwa jangan lagi 'main-main' dalam menulis. Harus serius ! Menulislah secara serius, baik isi, redaksional dan lain sebagainya. Harus punya misi, visi dan strategi. Enyahkan Naluri.
Saya pikir, itu adalah masukan positif. Toh, saya sendiri yang pertama akan menikmati hasilnya. Saya akan dinilai sebagai orang serius, berintegritas, menjadi contoh, pemberi manfaat bagi pembaca, masyarakat, negara dan kalau boleh sampai agama. Oh, jadi ingat masa jadi Pramuka !
Tak bisa tidak ! Harus revolusi diri. Gaya menulis pun harus berubah. Jangan tunda, harus dimulai segera.
Dan untuk melaksanakan semua itu maka langkah pertama yang akan saya lakukan nanti sebelum menulis di Kompasiana adalah Selalu melihat kembali dan perpatokan pada Judul Tulisan Ini.
Salam serius di Kompasiana
Tertanda,
Pebrianov
(mantan perubah gaya tulisan)
---------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H