Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dibalik Optimisme Dolar Jokowi Ada Wajah Anis Baswedan

27 Agustus 2015   04:38 Diperbarui: 11 Maret 2018   09:40 3793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berangkat pagi, pulangnya tengah malam kami lakukan sesuai kondisi tugas. Saya sih suka-suka aja, bisa kesana-kemari seperti orang penting. Makan dan rokok ditanggung. Heu heu heu.

[caption caption="sumber gambar : dokpri"]

[/caption] kontingen parade dari Kabupaten Landak

 

Trauma dan Berita Seronok di Media

Waktu tunggu antar kegiatan koordinasi sang Istri saya membaca berita online dan Kompasiana via BB sekalian menulis dan posting artikel. Hal itu saya lakukan di parkiran, loby hotel, loby kantor dan lain-lain. Jadi sebagai sopir saya tidak bisa dituduh tidur melulu saat menunggu !

Berita seronok bikin pedas mata yaitu menurunnya nilai Rupiah terhadap Dolar AS. Saya miris dan sedikit trauma. Dulu awal saya bekerja sebagai arsitek pada konsultan arsitektur papan atas di Jakarta, nilai dolar masih Rp. 2400-2500, tapi kemudian saya di PHK dari kantor pada nila Rp.16.000-an pas di tahun 1998. (di PHK bersama beberapa rekan arsitek). Saat itu, bukan hanya saya yang Jobless, jutaan orang mengalaminya.

Saya ingat betul, ketika tragedi Trisakti mulai, saya hampir tidak bisa pulang malam hari dari tempat kursus bahasa Inggris di Cikini karena Jakarta mendadak mencekam.

Saya ingat betul ketika ikut masuk komplek kantor DPR/MPR menyaksikan mahasiawa menguasai gedung sampai ke atap.

Saya ingat betul mau ngambil uang terpaksa jalan kaki dari Benhil ke Bank BCA pusat di jalan Sudirman. BCA mengalami Rush besar-besaran. Seperti tsunami. Ketika itu jalan Sudirman ditutup untuk kendaraan, gulungan kawat berduri dipasang melintang di tengah. Tank siaga, para Sniper TNI siaga dengan senapan di jembatan penyeberangan, atap gedung dan sudut-sudut jalan. Jakarta bagai perang kota seperti di Lebanon.

Saya ingat betul seorang ibu teriak di antrian seperti orang gila karena hanya boleh mengambil uang 5 juta perhari di BCA, sementara dia butuh uang banyak untuk pengobatan suaminya yang sekarat di rumah sakit.

Akankah semua itu terulang? Kok, Jokowi 'enak-enak' meninggalkan Jakarta pergi ke Pontianak ikut Karnaval Khatulistiwa. Bagaimana bila 'tragedi 98 terulang'. Miripkah dengan Soerharto yang digoyang saat lagi di Mesir dan terjungkal saat tiba di Jakarta ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun