[caption caption="http://2.bp.blogspot.com/_YVs8esdEV3Q/TGjeNEI70VI/AAAAAAAAABk/RZQqR1PlIp0/s1600/jagadraya3.gif"][/caption]
Penulis fiksi adalah pemimpi paling sombong sekaligus pembohong paling jujur di jagat ini. Mampu lewati semesta raya tapi tak arogan seperti kaisar Pilatus.
Mereka merupakan orang-orang yang seringkali tak berada di tempat saat orang lain sibuk. Mereka kadang tampak seperti orang kantoran, tapi banyak bolosnya dan suka jalan-jalan. Oh, tidak ! Mereka mungkin bukan orang kantoran, tapi para pengelana mencari kata.
Disaat BBM naik, banyak orang berteriak di antrian dengan penuh kemarahan. Penulis fiksi justru naik ke atap SPBU melihat pemandangan kota yang indah di sore hari.
Ketika banyak orang membicarakan Presiden, penulis fiksi seperti membisu dan tuli. Diam. Karena tak punya kamus presiden. Tak tahu bagaimana bentuknya. Dia cuma tahu raja dan kaisar.
Betul kata temanku, penulis fiksi seperti anak kecil.
Hanya bisa bermain, makan dan tidur, kemudian bermimpi mengigau. Kelelahannya bermain membawanya pada mimpi yang nyata, dia berbicara dan berlari dengan sequen yang melompat-lompat. Penuh kecerian.
Dia mendekat gerobak penjual minyak keliling. Dia hitung jumlah keringatnya, bukan menanyakan berapa pendapatannya sehari. Hanya dengan melihat sandal jepit kumuh si penjual, dia tahu jumlah bulir beras yang tersisa di dapurnya.
Begitulah mereka.
Penulis fiksi suka memperkosa kata. Selalu, tanpa ragu dipaksanya kata-kata itu melayani nafsunya, saat itu, di situ dan harus begitu.
Tak ada yang tak mungkin ketika kata-kata terlihat begitu seksi. Menggairahkan. Meletupkan libido yang tidur.
Mereka tahu, setiap kata selalu lalai menjaga diri. Dan mereka tak mau perduli teriakan kata, kesakitan ataukah merenda kenikmatan. Keduanya punya ruang dan durasi yang sama untuk meraup nikmat.
Kata iblisku, penulis fiksi itu manusia lemah. Kalau lelaki maka dia banci-separuh perempuan. Kalau dia perempuan maka dia adalah perempuan cengeng dan manja. Namun uniknya dia tampil bak ksatria dan istri raja. Membawa kantong air mata yang tersembunyi. Tak pernah bisa habis.
Kata kawan pecundangku, penulis fiksi itu orang-orang bodoh. Dia tak pernah bisa menginjak tanah, bukan karena jijik, tetapi tanah tak lebih sebuah jerat kakinya sehingga dia tak bisa berlari cepat menembus waktu.
Itulah mengapa, aku malu menulis fiksi.
Tapi itu dulu. Tidak saat ini.
Kenapa begitu?
Karena di fiksi aku bisa jujur membohongi diriku. Asal kau tahu, tak semua orang bisa berbohong dengan indah. Dan oleh karenanya iblisku pernah berbisik, penulis fiksi sangat disayang Tuhan.
------
Baca Juga ; Menulis Melawan Gila
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H