Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Profesor Tjipta Lesmana Lupa Satu Hal tentang JK

24 Agustus 2015   06:59 Diperbarui: 24 Agustus 2015   08:07 6333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="http://img.eramuslim.com/media/2015/04/tjipta-lesmana1.jpg"][/caption]

Tjipta Lesmana bukan pemain musik jazz seperti Indra Lesmana. Dia juga bukan Mira Lesmana yang orang filem. Dia bukan Surya Lesmana pemain bola PSSI era 80-an. Bukan pula penulis Kompasiana seperti Pebrianov yang cuma pawang ular tapi tak tahu malu mengaku-ngaku sebagai profesor.

Tjipta Lesmana adalah pengamat politik (komunikasi politik) bergelar profesor, sebuah jabatan fungsional (jafung) tertinggi di dunia kampus. Konsekuensi selaku Profesor adalah harus bisa jadi panutan dalam menyatakan pendapat-pemikirannya sesuai keahliannya. Dia harus berani menyuarakan kebenaran berdasarkan fakta, data dan analisa yang valid, bisa dan berani dipertanggungjawabkan secara akademis dan populis di ranah publik.

Seringkali seorang akademisi 'harus' membuat guncang publik karena temuan kebenaran yang didapatkan dari hasil pengamatan dan penelitian panjang dan mendalam dengan banyak data valid. Keguncangan itu memberi azas manfaat yang besar bagi hidup manusia. Setidaknya untuk sebuah negara sesuai konteks masalah spesifik di negara tersebut.

Dalam beberapa kesempatan tampil di media televisi, Tjipta Lesmana sering berbicara penuh semangat. Dalam debat, dia tak segan memotong pembicaraan lawannya sehingga host harus bekerja ekstra mengatur lalu-lintas debat. Padahal dalam dunia akademis ; memotong argumen lawan bicara dinilai kurang etis. Mungkin beliau lupa karena saking semangatnya berbicara. Atau karena sudah profesor, dia yakin orang memberi ruang permisif saat dia lupa.

[caption caption="http://konfrontasi.com/sites/default/files/styles/article_big/public/article/2015/08/JK-DAN-RIZAL-RAMLI_1.jpg?itok=YwU4U2Ic"]

[/caption]

Kali ini Profesor Tjipta Lesmana bikin guncangan hebat di ruang publik. Dikatakannya JK akan mundur jadi Wapres jika Jokowi tidak memecat Menko Rizal Ramli yang sebelumnya 'menantang' JK debat di depan publik. Persoalan itu kini sudah dinyatakan selesai. Rizal Ramli bahkan sudah ditegur langsung saat sidang kabinet. (Kompas.com).

Publik guncang, benarkah demikian?
Apalagi yang ngomong adalah seorang Profesor-gelar yang bagi masyarakat awam dianggap pintar dan (pasti) benar. Disinilah persoalannya. Pernyataan itu menjadi seolah-olah benar karena label Profesor.

Bagaimana wujud-keabsahan data yang didapatkan Prof. Tjipta Lesmana ? Apakah sudah valid dan bisa dipertanggungjawabkan di muka publik? Sampai saat ini belum, atau bahkan tidak ada !

Justru sebaliknya, secara resmi sekretaris Wakil Presiden membantah pernyataan Prof. Tipta Lesmana. Dengan pernyataan resmi sekretariat Wapres maka terbantah sudah 'teori-temuan' Prof Tjipta Lesmana.

Secara lebih kritis pernyataan Tjipta Lesmana masih sangat dangkal. Dia hanya melihat sikap politik JK saat 'konflik terhadap RR-kemudian membuat 'pernyataan' bombastis.

Tjipta Lesmana tidak melihat perjalanan politik JK yang panjang dan penuh pengalamanyang  telah membentuknya menjadi manusia politik tangguh. Sangat tidak masuk akal bila JK bertindak 'mutungan' (merajuk) pada Jokowi hanya karena ' ulah nakal' Rizal Ramli. Terlebih lagi, secara struktural JK lebih tinggi dari RR. Kok, gara-gara anak buah nakal kemudian atasan merajuk? Padahal sebagai atasan, JK bisa bertindak terhadap RR dalam bentuk khusus yang hanya diketahui JK dan Jokowi saja.

[caption caption="http://cdn-2.tstatic.net/medan/foto/bank/images/tjipta_lesmana_20150822_150146.jpg"]

[/caption]

Sebagai ilmuwan, sebelum membuat pernyataan harusnya mengamati suatu fenomena berdasarkan rangkaian waktu ; sejak dulu hingga sekarang.  Melihatnya secara komprehensif, runtut dan detail. Ada setting sejarah yang perlu diperhatikan kemudian melihat kecenderungan berulang yang terjadi.

Pertanyaannya ;

1. Apakah JK sejak dahulu sering merajuk/mutung dalam berpolitik?

2. Apakah JK rela mengorbankan karier gemilangnya dengan cara merajuk karena ulah seorang RR ?

3. Apakah JK semudah itu dimainkan situasi politik yang secara faktual tidak berbahaya bagi karier politiknya.

4. Apakah JK yang punya sifat kenegarawanan tega mengorbankan kedamaian politik dan kepentingan negara hanya karena seorang Rizal Ramli yang kritis dan nakal? Perlu diingat, bila JK mundur maka politik Indonesia akan berguncang oleh 'kebingungan publik' yang berakibat tidak stabilnya ekonomi yang berjalan. Sementara di akhir masa tuanya ini, JK ingin menutupnya secara gemilang dengan pengabdian total pada bangsa dan negara Indonesia agar namanya tetap harum. 

5. Sebagai politisi-negarawan, apakah JK mau menggunakan cara konyol, merendahkan derajat sendiri ; 'Mundur dari jabatan Wapres dengan cara mengancam Jokowi'. Sangat tidak mungkin karena hal itu tidak diplomatis. Kalau pun JK ingin mundur, tentu dia akan menyiapkan kalimat 'eufimisme' ala politikus kawakan-pemimpin hebat, misalnya ;
- "karena faktor kesehatan, sering sakit sehingga tidak optimal bekerja untuk rakyat dan negara."

- "karena sudah lelah dan ingin memberi kesempatan yang muda untuk mensuport Jokowi yang cepat dan lincah', agar pemerintahan lebih produktif."

Mundur tidaknya JK dari rezim Jokowi harus dilihat dari sisi JK sendiri yang kompleks dan unik sebagai seorang Begawan Politik di negeri ini. Bukan pengamatan sesaat yang hanya berdasarkan satu momentum tidak krusial 'ulah nakal' Rizal Ramli minggu lalu.

Satu hal pasti, seorang JK bukan jenis politikus Mutungan/suka merajuk di depan publik ketika menghadapi masalah. Apalagi ini terhadap anak buah sendiri.

Nampaknya untuk hal tersebut, Profesor Tjipta lupa, tapi Profesor Pebrianov tidak lupa ! Makanya kali ini perlu diingatkan.

 

Ayo kerja !

------- 

 

Sumber bacaan ; Satu, Dua,Tiga,

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun