Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Ingin Merdeka, Lepas dari NKRI

17 Agustus 2015   00:31 Diperbarui: 17 Agustus 2015   00:31 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="https://gepkinthb.files.wordpress.com/2014/10/mudainspiratif-belenggu.jpg?w=300"][/caption]

Baru tadi ikut pak Kadus menimbang karet. Tauke bilang harga tak naik, masih 6000. Ini masih mendingan. Hujan turun lebat beberapa hari, jalan tanah rusak parah, angkutan payah masuk. Tapi harga 'sudah baik'.

Seingat aku, dua bulan kemarin harga cuma Rp 4500,-. Musim kemarau, jalan tanah keras dan berdebu. Angkutan tak sepayah berkubang. Tapi juga tak mampu menolong harga.

Kala itu aku duduk di bawah rimbun pohon. Bersama sekelompok petani yang merajuk tak mau menoreh. Mereka tak mau bertarung sia-sia di hutan dan kebun karet dari jam 02 dini hari sampai jam 07 hanya untuk Rp.4500,-.

Dimakan nyamuk, digigit dingin malam, kalau tak awas dipatok ular dan kelabang.

Beberapa orang nostalgia, ingin kembali ke jaman dulu, saat krismon menghantap negeri. Harga mereka meninggi, setinggi langit. Mereka bisa bayar kredit, lunas ! Bayar anak sekolah, dan menabung.

Aku diam menyimak. Tanpa kata satu pun. Benak gelisah, yang tergambar di memoriku justru ragam berita korupsi ratusan milyar para elit. Dan wajah-wajah ceria mereka berpidato dan diwawancarai bagai pahlawan. Kadang melambaikan tangan di televisi, bahkan tanpa beban saat memakai rompi oranye.

Aku diam dengan emosi tertahan. Sambil melihat jalan tanah becek di kampung pedalaman ini.

Tadi kami berkubang membawa karet. Roda motor buntut dan bodong tergelincir di tepian, hampir melempar kami ke jurang dalam.
Bensin pesta di tangki motor, dompet pun koyak dalam

Karet sejatinya jadi ATM warga
Tapi nyatanya untuk jadi sekedar warung pun tak mampu. Cuma jadi seperti sarang binatang pohon.
Sekedar untuk berteduh dan bertahan hidup

Kembali terbayang wajah-wajah korupsi
Aku mendidih!
Aku ingin teriakkan Merdeka !
Bukan untuk negeri ini, melainkan negeri yang bar. Ditanah yang sama.

Aku pikir aku bisa

Toh aku bisa menulis, membuat provokasi, menciptakan kampaye hitam, dan membangun simpati dunia

Persetan apa nanti kata para kolega

Bukankah aku adalah tuhan kata-kata
Bukankah kata-kata bisa menghancurkan dunia.
Apalagi cuma sebuah negeri koruptor yang kaya eufimisme ?

Kuingat Kompasiana, perahu pertama akan kusulap jadi kapal perangku meraih kemerdekaan di tanah yang sama. Tempat kini aku bersama petani itu berteduh. Merenung.

Mari kita pekikkan Merdeka kawan...
Untuk negeri yang baru

Siap?

Kaki Bukit Rentap, 16/08/2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun