Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Menjaga Pagi Tak Menghanguskan Siang

6 Agustus 2015   22:28 Diperbarui: 6 Agustus 2015   22:28 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="https://aws-dist.brta.in/2014-11/ef2f510aa5a4cfe0fdf8d674e5f13c00_imresized_imresized.jpg"][/caption]

Ini kudapat Hari ini, untuk bekal besok pagi.

Setiap orang punya emosi. Wujudnya akan 'tampak' dengan kadar tertentu dalam suatu situasi tertentu pula.

Ketika emosi tak terkendali, ada yang marah-marah berteriak dengan muka seram seperti Hitler terjepit pintu ketika batu akiknya hilang. Padahal dia sendiri yang lupa menyimpannya sebelum mandi. Setelah akik ditemukan, pun wajahnya tak segera berubah ceria. Masih seram. Entah sampai berapa lama. Ternyata pantulan sinar indah batu akiknya pun tak mampu memberi ceria.

[caption caption="http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/103037/big/demo-macet-rugi-121214b.jpg"]

[/caption]Tadi pagi saat mengantar anak-anak ke sekolah saya bertemu orang seperti Hitler terjepit pintu. Suasana jalan di pagi itu ramai, semua orang tampak terburu-buru. Mereka dikejar hantu waktu, takut terlambat.

Pada sebuah simpang tiga situasi lalu lintas agak macet karena jalannya tak begitu lebar dan tak ada yang mau mengalah. Setiap kendaraan berlomba menyorongkan hidungnya. Tak mobil, tak juga motor, sama saja. Belum lagi ada gerobak dorong penjual minuman yang kepayahan di tanjakan. Dia juga peserta pagi peraih rezeki.

Badan kecilnya hampir tak mampu menaklukan elevasi di landai jalan. Maju mundur berkali-kali mencari ancang-ancang. Cukup makan waktu. Sementara sebagian kendaraan di dekatnya bagai tak sabar. Ketika semua ingin mendahului, maka tersumbatlah simpang seperti kepala botol. Badan besar, isi penuh, tapi kepala kecil. Sungguh tak nyaman tertuang.

Beberapa kendaraan hampir bertabrakan, hidung ketemu hidung, badan ketemu badan. Hampir saling melecet. Bunyi klakson berhamburan. Gratis. Memekak telinga pagi. Tak lama kemudian keluarlah teriakan sumpah serapah. Urat -urat leher bagai keluar, tapi sangat tidak seksi. Mata melotot, seperti tercekik. Satu sumpah serapah diikuti sumpah serapah berikut. Seperti beranak pinak. Atau Snowball. Pesta diskon sumpah serapah membelah kekacauan simpang.

[caption caption="http://4.bp.blogspot.com/-9paPozaU0uY/UVkPBSt5ZhI/AAAAAAAAAO0/5PnAlYAIv04/s1600/Ilustrasi+pengemudi+yang+terpancing+emosi.jpg"]

[/caption]

Saya berada di kemacetan agak depan. Dari kaca spion kejadian telanjang itu terlihat dan terdengar jelas. Kedua anak saya diam dan tampak tegang.

Saya berharap tidak ada yang turun dan adu jotos. Itu saja. Bukan apa, saya tidak mau kedua anak saya melihatnya. Akan sulit menjelaskan pada mereka bila ada orang-orang dewasa berantem di jalan hanya karena kemacetan.

Sayapun kuatir, karena jarak yang sangat dekat, saya bisa kena imbasnya. Masalahnya di diri sendiri. Saya orangnya tak terpengaruh dan bisa cuek diteriaki orang, dimaki dan dihina dengan kata-kata kotor. No problemo. Bebek aja kalah cuek dari saya. Karena bagi saya itu sebuah perbedaan pendapat, walau caranya tak etis. Tapi bila sudah menyentuh fisik, dipukul misalnya, maka teori fisika akan saya terapkan dengan khidmat dan konsekuen. Ada aksi maka (harus) ada reaksi cepat. Bila mendapat gaya akan saya berikan gaya yang lebih besar berikut koefisien gesekannya. Itu gaya jaman muda dulu. Tapi belum saya uji ulang dii usia matang manggis saat ini. Sebaiknya jangan, karena itu bakat usang.

Tak eloknya bila dilihat anak-anak saya. Tak mampu mengendalikan diri, berakhir trauma pada anak, plus malunya itu segudang.

Untunglah semua tak terjadi. Kendaraan saya akhirnya bisa lolos macet dan hiruk makian. Bisa melenggang di jalan yang relatif lancar.

[caption caption="http://www.ruaitv.co.id/wp-content/uploads/2013/05/JEMBATAN-KAPUAS-SATU-MULAI-KERAP-MACET.jpg"]

[/caption]

Sesampai di simpang berikutnya yang cukup jauh, lampu merah menyala. Sayapun berhenti. Ketika saya lihat di samping mobil saya ternyata mobil si Wajah Hitler itu ada. Wajahnya masih marah, terlihat dia ngomel-ngomel, dan sesekali memukulkan tangannya ke stir mobil. Anak-anaknya nampak tegang dan diam, begitu juga seorang wanita rapi di sampingnya (mungkin istrinya). Nampaknya dia masih kesal dengan kemacetan dan insiden hampir nyerempet tadi

Saya berpikir, "wah, ini orang sudah merusak paginya". Pada jarak kejadian sudah cukup jauh. Suasana jalan sudah berubah lancar. Kenapa masih marah-marah? Kasian anak-anak yang akan ke sekolah dan istrinya yang mungkin ke kantor. Lalu, bagaimana bila sudah sampai ke kantor? Jangan-jangan kekesalannya ditumpahkan ke rekan kantorn klien atau anak buahnya. Gila ! Bisa-bisa seharian tidak kelar. Malah tambah masalah baru. Sungguh tak terbayangkan.

******
Renungan yang didapat ;
-Bagi saya, kemacetan pagi adalah hal yang jamak di kota-kota di negeri ini.. Tak ada seorang pun yang mau terjebak macet. Tapi kalau terpaksa mengalaminya, nikmati saja. Toh bukan kita sendiri yang menderita. Kalau kita emosi sepanas larva gunung Merapi pun tak akan membebaskan diri dari macet saat itu. Emosi dengan marah-marah di jalan hanya menimbulkan rangkaian emosi yang lain, yang bahkan bisa membakar diri sampai siang. Tak ada yang bisa didapat selain masalah-maslah baru. Padahal pagi itu indah, layaknya dinikmati dengan sejuk. Itu modal mengarungi siang dan sore yang mungkin bakal panas. Kalau pagi hari saja sudah emosi memanas, apa tidak hangus siangnya?

-Sebisanya menahan diri dari emosi yang berlebih di pagi hari, apalagi dekat anak-anak dan keluarga. Karena energi negatif kita yang keluar mempengaruhi suasana hati mereka menjalani aktivitasnya masing-masing. Bisa stress-lemes, tidak konsen, ingin ikutan marah dan lain sebagainya.

-Kalau mau marah, sebaiknya wujudkan dalam tulisan sharing di Kompasiana. Seperti yang saya lakukan di artikel ini. Eeh..

Heu heu heu..
Salam

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun