Saat dalam ruang Liminalitas, mereka tidak mempunyai rujukan 'budaya-orientasi' yang jelas (ambigiuias) dan sangat mudah dipengaruhi. Dengan demikian, kumpulan orang-orang yang mengalaminya sering kali mereka melakukan tindakan yang tidak dapat "diterima" oleh nalar (lihat Victor Turner dalam Syafri Sairin, 1989)
Bahayanya dikemudian hari, pengalaman Liminalitas itu menjadi kuat terekam dalam alam bawah sadar para calon penerus bangsa tersebut dan menjadi preseden kontraprodukti - selalu bertindak paradok sial ; Secara akademis menjadi intelekual (namun) sekaligus bertindak bar-bar (premanisme).
Contoh sederhana ;
Penampilan siswa atau mahasiswa saat menjalani kegiatan MOS atau Opspek dibuat aneh-aneh, misalnya ;
-Rambut dikuncir pakai pita warna-warni tak senada, tak seimbang, tak estetis.
-Kepala pria plontos, pakai topi kumal anyaman bambu mirip orang-orangan sawah (topi ?)
-Kaus kaki warna-warni, lain di kanan lain di kiri.
-Bawa panci, sapu lidi selalu bergantung di badan ikat pinggang dari tali rafia atau sumbu kompor.
- Tag name dari karton besar selalu bergantung di dada seperti narapidana sesi pemotretan.
-Pergi ke sekolah atau kampus harus jalan kaki minimal jarak 3 kilo sebelum komplek kampus.
-Berangkat MOS dan Opspek ke kampus subuh, pulang malam.
-Kalau melakukan kesalahan dihukum push-up, sit-up, atau lari-lari sambil teriak-teriak konyol.
-Menyanyikan lagu populer yang syairnya diuba 'semau gue'. Nyanyi dilakukan bersama-sama atas dasar komando yang mngigatkan pada grombolan PKI bernyanyi genjer-genjer di lubang buaya tahun 1965
-Dan lain sebagainya-dan lain sebagainya.
[caption caption="http://egyadhitama.blog.uns.ac.id/files/2015/03/ospek.jpg"]
Pertanyaannya, apakah pernak pernik artifisial itu akan ditemui pada masa perkuliahan nanti?
Bandingkan masa kuliah normal ; mahasiswa pergi ke kampus jam 8, kuliah jam 9 pagi sampai siang atau sore. Kalaupun ada sampai malam itu bersifat insidental. Mahasiswa banyak yang berbaju modis, wangi, pakai handpohone terbaru, laptop di ransel bahu, berangkat pakai motor bahkan mobil ke kampus, mahasiawa harus berbicara santun tak boleh teriak-teriak. Bila salah mengerjakan tugas kuliah dan ujian jadi tidak lulus dan bisa diulang dengan bimbingan intensif oleh dosen atau assisten dosen-bukannya lari-lari dilapangan kampus sambil teriak-teriak kayak orang gila temporer. Mahasiswa bebas memilih mode rambut ; boleh cepak, gondrong ,punk, poni, catok, stock on you, polem, dicat pirang sampai ke bulu-bulu kepala. Dan lain sebagainya. Itulah dunia mahasiswa saat ini yang sesungguhnya.
[caption caption="https://williamlautama.files.wordpress.com/2012/10/shutterstock_47015440.jpg"]
Apa yang melekat ditubuh siswa atau mahasiswa itu merupakan simbol-simbol fisik-artifisial, tak punya kedalaman makna, yang ada hanya spirit pragmatisme dan bertindak secara instan.
Pada situasi MOS dan Opspek itu terciptalah paradok yang masif dan terstruktur seolah semua isi kegiatan menjadi kebenaran. Padahal Kebenaran tersebut adalah semu ! Disinilah titik kritis yang sering diabaikan banyak orang karena lebih mengedepankan 'tradisi'.
Sejatinya sebuah tradisi akan menjadi Budaya. Dan Budaya sebagai proses belajar tanpa henti menghasilkan peradaban berupa nilai-nilai dan wujud fisik berkualitas, bukannya rangkaian kebiadaban. Intinya, Budaya adalah bahan dasar peradaban.
Lebih baik siswa atau mahasiswa langsung berkostum normal-sesuai layaknya siswa atau mahasiswa, kemudian beri mereka kegiatan penataran dengan materi dunia kampus. Pada kegiatan itulah sekolah atau universitas bisa mengeluarkan 'isi perutnya' yang perlu diketahui siswa atau mahasiswa. Orientasi sesungguhnya bisa didapatkan - untuk mendukung cita-cita ideal 'menciptakan manusia generasi bla..bla..bla - tergambarkan sejak awal di mata hati siswa atau mahasiswa. Di Awal Gerbang inilah proses membentuk peradaban itu dimulai dengan kejujuran yang sistematis, bukan paradok yang membingungkan Orientasi.
Selesai !