Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Hilang Kanal, Malu Tumbuh Berganti di Kompasiana

28 Juli 2015   09:34 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:39 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Beberapa Kompasianer mempertanyakan hilangnya beberapa Kanal favoritnya ke Admin.

Saya hanya bisa menyimak riuh rendahnya, sembari bergaya sok tahu secara paripurna.

Ragam argumentasi telah mereka kemukakan. Tapi admin tak bersuara.

Kanal Pendidikan bertanya, admin tak menjawab.
Kanal Hukum menuduh, admin tak membela diri.
Kanal Humor protes, admin tak ada yang tertawa sedikit pun.

Saya heran mengapa demikian. Padahal yang datang bukanlah KPK yang bisa bikin lutut admin gemetaran.

Bukan lelaki tampan yang bisa bikin adminwati cenat-cenut, atau perempuan muda cantik nan seksi yang bisa bisa jakun adminwan turun naik.

Bukan pula hantu kuntilanak yang bisa bikin admin ketakutan sampai terkencing-kencing.

Kanal Hukum raib, dianggap sudah masuk politik. Masih dimaklumi karena jaman kolonialisme Kompasiana lama, kanal Hukum merupakan underbow kanal Politik.

Kanal Pendidikan lenyap, dimirip-miripkan humanior karena masih undebow Humaniora.

Paling menggenaskan adalah kanal Humor. Bungkusnya hilang, tapi isinya disuruh numpang ke Hiburan. Padahal dulu Humor merupakan kerajaan merdeka. Walau tidak kaya raya seperti politik, tapi warganya sejahtera dan bahagia.

Kanal Humor memang paling menyedihkan.
Mereka bisa bikin orang ketawa kapanpun, dimanapun, dan tentang siapapun.

Tapi ketika kanalnya hilang, mereka sendiri tidak bisa tertawa, apalagi orang lain, apalagi admin.

Padahal hilangnya Humor merupakan lelucon paling kocak. Dari ada menjadi tiada. Dari samar-samar menjadi gempita yang banci.

Sebenarnya kanal Humor bisa masuk dimanapun, karena setiap tempat selalu ada lelucon tersirat.

Kalau saja ada kanal sexologi, maka Humor akan tumbuh subur di sini, tempat yang lembab, kadang ada cairan, sedikit licin tapi banyak oksigen sehingga akan banyak orang menghirup udaranya sampai menggelinjang dan terkejat-kejat. Kesuburannya bahkan bisa lebih dari politik karena sexologi penuh dengan urat geli yang sensitif.

Anda boleh tidak setuju, tapi di artikel ini sayalah sang Admin yang menentukan. Protes ditampung, menulis jalan terus !

Hilangnya kanal humor memang menyedihkan, tapi untunglah saya tak bisa humor. Jadi saya tak perlu ikutan pusing saat hilang. Karena saya tidak humoris. Saya hanya lelaki pemalu. Tentu saja saya sangat malu meminta diadakan Kanal Malu di Kompasiana.

 

 

Salam malu-malu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun