Disitu ada jeda waktu untuk berpikir. Dengan waktu, ada kesempatan filter pikiran bekerja.
Disitu ada perangkat untuk menuangkan pikiran. Perangkat ini memberi kemudahan mewujudkan buah pikiran dari hasil senyawa ketiga komponen.
Ketiga komponen itu memberi ruang gerak yang cukup untuk menentukan pilihan diri berpikir buruk atau berpikir baik.
Ketiga komponen itu memberi ruang untuk berpikir berulangkali sebelum pikiran itu dituangkan dan dibagi ke publik.
Ketika pikiran buruk jadi pilihan untuk dituangkan maka jadilah dia sebagai cermin nilai diri yang si Pemikir yang culas. Merusak diri, keluarga dan lingkungannya.
[caption caption="http://www.cikguazli.com/blog/wp-content/uploads/2014/09/motivasi-diri-2.jpg"]
Pemilik Nilai
Nilai diri itu tak lagi milik si Pemikir, tapi dari penilaian publik yang disematkan ke si Pemikir. Nilai itu adalah sebuah hukuman sosial yang sangat kejam. Menusuk masa lalu, menghancurkan masa kini, dan membuat pincang masa depan si Pemikir tersebut.
Apa yang sebelumnya telah dia capai dan miliki menjadi tak ada artinya bagi publik. Tak ada bekasnya. Tak ada efek bagi wujud kemanusiaannya. Tak ada pengaruh positifnya di ruang publik.
Tadinya si Pemikir dikira emas, ternyata cuma loyang. Sialnya lagi, loyang itu berkarat. Berbahaya.
Nasib si Pemikir telah ditentukan oleh dirinya sendiri. Dia telah merubah Nasibnya sendiri dengan bertindak di luar nilai kemanusian universal. Dia kini bagai bukan manusia.