Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Pintar Konflik Antar Kelompok (Dalam) Agama

20 Juli 2015   12:56 Diperbarui: 20 Juli 2015   13:00 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber gambar :http://www.mozaik.eoldal.hu/img/mid/16/mozaik--szem.jpg"][/caption]

Persoalan SARA paling sensitif adalah Agama. Daya ledaknya jauh lebih dahsyat dibanding A, S, atau R yang lain dalam SARA. Ketika Agama di mozaik nusantara dijadikan lahan konflik, maka gaung dan ledakannya bisa melebar jauh di luar batas nusantara. Bisa membakar dunia dan meluluhlantakkan mozaik itu sendiri. Kenapa demikian? Karena Agama 'menjanjikan kehidupan abadi' bagi kelompok pemenangnya ke alam surgawi.

Konflik SARA tersebut mudah meletup karena beragamnya elemen mozaik nusantara. Elemen itu bukan hanya berbeda bentuk, material dan warna, namun juga kadar perekatnya.

Kadar perekat itu bisa diartikan sebagai 'kesadaran diri' untuk menjadikan mozaik sebagai milik bersama sekaligus kebanggaan diri.

Keberbedaan level perekat ini pernah dikondisikan oleh penjajah di nusantara pada masa lalu. Tujuannya agar 'mudah' menjalankan libido kolonialisme mereka. Mereka bisa kuat menancapkan kukunya karena terlebih dahulu belajar tentang Mozaik ini. Dari belajar menjadi tahu dan mengerti bahwa daerah jajahan 'seperti ini' jadi harus di kondisikan 'seperti ini'.

Kini tak ada lagi penjajah langsung. Yang ada adalah penjajah tak langsung. Mereka tak perlu hadirkan pasukan di negeri mozaik ini, cukup dengan 'cara pintar' yang tak tampak. Caranya beragam, namun tetap dengan langkah klasik, yakni Belajar-mempelajari daerah jajahannya. Dari situlah didapatkan konsep perlakuan yang tepat untuk menjaga keberlangsungan libido mereka.

Konsepsi Keliru Dunia Profan

Hidup di dunia profan boleh saja Miskin, tapi kekayaan di dunia sakral menjadi jauh lebih penting dari dunia profan. Pada titik ini adigium tersebut sangat bijak. Namun menjadi bias ketika muncul dokrin-pemikiran 'Kalau perlu, Bertindak Miskin pikiran, hati dan jiwa di dunia profan demi kelak dapat tempat di dunia surgawi'. Luka raga dan kematian bukan sesuatu yang harus ditangisi karena hal itu merupakan bahan bakar murni bagi agama menuju kebahagiaan abadi surgawi.

Bias tersebut adalah konsepsi yang keliru sehingga menciptakan sejarah kelam mozaik nusantara. Konsepsi itu tak lagi melihat dunia profan sebagai kekayaan bersama untuk bekal menuju alam sakral.

Sejarah kelam mozaik nusantara tentang SARA tak lagi jadi bahan ajar. Tak ada spirit belajar. Tak mau belajar dari kaum pembelajar yang selalu memenangkan dunia profan bahkan sampai mampu menguasai mozaik nusantara !

Dokrin seperti itu telah 'memudahkan' kaum kalah di dunia profan untuk 'bisa' menang dan abadi di dunia sakral (surgawi). Kalau sudah demikian, maka hidup di dunia profan ini bagai tak ada artinya bagi kaum pencecap dokrin tersebut. Inilah akhirnya jadi salah satu sumber masalah yang mengacaukan fungsi perekat mozaik.

Sulit membedakan Konflik Agama atau Konflik Antar Kelompok (Dalam) Agama merupakan salah satu contoh. Pada konteks itu, telusur akar, kronologis, setting budaya dan ragam variebel lainnya bukanlah hal penting sebelum bersikap dan bertindak. Akibatnya perekat mozaik jadi goyah, kering dan bahkan terlepas. Padahal segala variabel inilah yang dulu dipakai kaum penjajah untuk menuntaskan libido kolonial-nya.

Bila melihat inti agama dapat diuraikan bahwa perekat mozaik juga merupakan langkah menuju alam sakral (surgawi).

Kompasiana Perekat Mozaik

Untuk mengeliminasi level perekat tersebut ada banyak pilihan. Salah satunya adalah menjaga dan meningkatkan iklim Belajar di semua elemen Mozaik. Dimulai dari penciptaan banyak pioner pembelajar yang bernas menularkannya kepada semua elemen.

Tanpa disadari, Kompasiana ini telah jadi ruang penciptaan pioner pembelajar yang bernas tersebut ! Sembari kita berharap agar kaum pembelajar di sini tak justru terjerumus pada 'janji surgawi' tadi.

Pihak luar melihat mozaik nusantara sebagai titik lemah, tapi kita harus melihatnya sebagai kekuatan besar ! Untuk itu frasa 'Belajar' perlu selalu hidup. Tak semata sebuah kata di atas kertas, terbaca sepintas habis itu hilang di tiup angin surgawi abal-abal.

Salam pemberdayaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun