[caption caption="http://campaignindonesia.com/wp-content/uploads/2014/07/ayo-mudik.jpg"][/caption]
(sumber gambar : http://campaignindonesia.com/wp-content/uploads/2014/07/ayo-mudik.jpg)
Ketika mendengar pertanyaan “Menjelang hari raya nanti anda mudik, ndak? Mudiknya kemana?“ Saya sempat bingung. Pertanyaan mudah itu kok bikin bingung? Dasar orang kampung !
Dulu saya memahami bahwa orang Mudik adalah orang yang kembali atau berkunjung ke kampung halamannya ; tempat dia dilahirkan, dibesarkan, bahkan mungkin sampai kawin. Disana dia masih ada keluarga besar, teman masa kecil, serta tempat-tempat penuh kenangan dimana sebagian masa hidupnya pernah dilalui. Tentu akan sangat menyenangkan bertemu lagi dengan dengan semua itu.
Kampung dibayangkan sebagai sebuah tempat yang masih alami, pemandangan alamnya indah, tidak hiruk-pikuk, fasilitas infrastrukturnya relatif terbatas. Masyarakatnya ramah dan masih saling mengenal satu sama lain. Mereka hidup dengan suatu tradisi yang khas dan kental. Pendek kata, kampung adalah tempat yang memberikan rasa damai.
Konteks ‘Mudik’ memuat beberapa hal, pertama orang yang melakukannya punya kampung halaman, dan saat ini sedang tidak berada di kampung halamannya karena berbagai sebab, misalnya karena sekolah/kuliah, bekerja dan tinggal tetap, tugas sementara, dan lain-lain. Kedua, orang itu berasal dari kampung tertentu yang pindah ke tempat lain, bisa di kota atau kampung lain. Ketiga, orang mudik aslinya adalah orang kampung ! heuheu...
Mudik hanya milik orang kampung. Itu dulu...sekarang tidak !
Ketika hari raya ‘mengharuskan’ orang untuk Mudik agar hari rayanya lebih afdol, maka ‘Mudik’ mengalami ‘pelebaran makna’. Kini orang bisa hidup dimana saja sesuai nasib dan keberuntungannya. Kata yang lebih tepatnyanya mungkin merantau. Ada orang yang berasal dari tempat yang 'benar-benar sebuah kampung' seperti gambaran awal diatas, kemudian merantau ke kota besar. Ada yang dari satu kampung ke kampung lain yang kondisinya relatif sama ‘ndeso’nya dengan tempat asalnya.
[caption caption="https://upstekno.files.wordpress.com/2015/04/mudik_2.jpg"]
Pelebaran 'makna Mudik’ juga berlaku untuk orang yang lahir dan besar di kota besar seperti Jakarta kemudian bekerja, mendapat jodoh, beranak pinak dan menetap di sebuah kabupaten kecil di Kalimantan. Sebagai gambaran : tempat tersebut tentunya jauh lebih 'bernuansa kampung' dibandingkan tempat asalnya kota Metropolitan Jakarta yang infrastruktur wilayahnya serba wah. Saat berhari raya dia kembali ke Jakarta untuk berkumpul dengan keluarga besar dan kerabatnya maka dia bisa dikatakan 'melakukan Mudik Hari Raya.
Apakah berarti dia juga orang kampung ? Jelas orang kampung, dong.
Kini di Indonesia setiap daerah memiliki hirarki wilayah administratif yang sama. Mulai dari tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dusun, dan RW/RT. Di kota besar relatif sama dengan kota kecil nun jauh di sana, yang membedakan hanya kondisi fisik wilayah terbangun. Ada yang sudah maju dan ada yang belum. Sebuah Desa di ‘kampung’ setara dengan Kelurahan di 'Kota' karena yang mengepalainya adalah Lurah. Jadi sebenarnya sekarang tidak ada dikotomi orang kampung - orang kota. Semua adalah orang kampung !
Kalaupun ada istilah orang kampung lebih kepada stempel tertentu untuk menggambarkan ‘orang tersebut’ bertabiat tertentu yang dianggap rendah. Karena konon ‘sejarahnya’ ; orang kampung dianggap rendah dibandingkan orang kota.
Lalu, bagaimana dengan orang yang lahir, besar, bekerja, menikah, beranak-pinak dan menetap di tempat yang sama alias tidak pernah pindah? Kalau dia merayakan hari rayanya di tempat aslinya tersebut, dia tetap dikatakan tidak mudik. Namun bukan berarti dia 'selamat dari predikat sebagai orang kampung'!
Satu hal lagi ; ketika seseorang berhari raya ke tempat asal orang tuanya di kota besar (misalnya Jakarta) yang lebih modern dari tempat asalnya sekarang, apakah orang tersebut (masih) dikatakan Mudik?
Contoh lain ; seseorang berhari raya ke tempat asal orang tuanya di sebuah daerah yang jauh dan baginya tidak familiar-bahkan orang tuanya sendiri sudah meninggal dan sudah puluhan tahun meninggalkan kampung halamannya. Apakah orang tersebut juga dikatakan Mudik hari raya?
Sampai saat ini belum ada istilah yang baru untuk membedakan ragam fenomena Mudik itu. Namun ketika ditanya akan muncul ‘bahasa gaulnya’ yakni tetap disebut Mudik, tapi dengan tambahan di belakang kata ‘Mudik’, misalnya ; “Hari raya tahun ini saya Mudik ke tempat asal orang tua”. Kenapa harus ada tambahan seperti itu? Selain untuk memberi penjelasan kepada orang yang bertanya, sebagai orang kampung kita lebih familiar dan nyaman denga kata inti : Mudik. Sebaiknya tidak perlu ada istilah baru dan pembedaan tipe Mudik ; mudik tipe A, mudik tipe B, dan seterusnya. Yang penting saat Mudik hari raya bisa berkumpul dan menjalin silaturahmi seperti 'suasana kampung jaman dulu’.
Selamat mudik lebaran
[caption caption="https://andri0204.files.wordpress.com/2012/08/pahlawan-super-mudik.jpg"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H