Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Gemesnya Mengakses Kompasiana Baru dari Pedalaman Kalimantan

7 Juli 2015   18:52 Diperbarui: 7 Juli 2015   18:52 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Rumah panjang Ensaid dari arah Selatan. Tampak di ujung adalah Bukit Rentap. (sumber ; Dok. Pribadi) 

[caption caption="Suasana siang hari, beberapa warga mempersiapkan alat tenun untuk menenun"]

[Bagian Ruai pada siang hari tampak lenggang karena warga banyak yang ke Ladang. Sumber foto; DokM Pribadi)

Saat ini saya sedang berada di Pedalaman Kalimantan Barat (±460km dari kota Pontianak) untuk suatu tugas yang cukup lama. Saya tinggal sementara di Rumah Panjang suku Dayak D'ssa, yang merupakan anak suku Dayak Iban (Ibanic grup).

Letak permukiman diapit dua bukit, yakni Bukit Luit dan Bukit Rentap yang tingginya kira-kira tak lebih 1000m. Sekelilingnya adalah hamparan hutan, kebun karet, ladang, dan perkebunan kelapa sawit.

Tadinya saya berniat 'cuti' dari Kompasiana karena kesibukan mengikuti ragam kegiatan di sini. Tapi ternyata itu sulit ! Disaat ada waktu senggang atau di sela-sela kegiatan ada saja ide liar melintas di benak untuk dituliskan. Langsung saja saya eksekusi di Black Berry yang sudah saya install program Word Office. Jadi, di BB itu ada dua folder utama yakni laporan harian kegiatan dan tulisan Kompasiana.

Laporan kegiatan harian berisi semua informasi dan hasil pengamatan kegiatan masyarakat tradisional Dayak Dssa yang saya ikuti setiap hari. Sedangkan folder Kompasiana berisi semua tulisan yang pernah saya buat, baik sebelum maupun selama berada di pedalaman. Selama di lapangan lebih enjoy menulis pakai word office yang ada di BB. Lebih praktis, bentuk BB yang kecil bisa dimasukkan saku. Sementara laptop saya simpan di bilik Rumah Panjang untuk mem'back-up' data dan keperluan besar lainnya. Jadi kalau berada di lapangan saya hanya membawa buku kecil, BB, kamera video saja.

Sinyal Hape Minim di Permukiman

Masalahnya di dusun saya tinggal tidak ada sinyal hp. Kalau pun ada cuma setitik dan timbul tenggelam. Jadi untuk komunikasi tepon relatif sulit. Paling cuma sms, itupun terpending. Bila sinyal setitik tadi berbaik hati datang maka bisa ter 'sending'. Jadi sms yang dikirim bisa jadi 15 menit atau lebih baru terkirim. Begitu juga bila menerima sms, sering tidak Up-date. Heuheuheu..! Kondisi ini telah saya sampaikan ke teman, keluarga, kolega yang ingin menghubungi saya. SMS saja ! jangan Telpon, nanti bisa gemess, naik pitam, kemudian stress dan mati terduduk. Jelas saya tidak mau tanggung ! Heuheuheu...

Uniknya bila sedang di ladang, hutan atau bukit, sinyal hp penuh. Biasanya saat itulah saya membuka berita online dari kompas.com ; detik com; okezone.com ; tempo.co ; jawapost.com ; tribune.com dan lain-lain untuk melahap informasi perkembangan dunia.

Sinyal Untuk Berburu di Hutan
Ada satu pengalaman tentang kuatnya sinyal. Rimba atas bukit Rentap itu. Suatu sore dua warga Rumah Panjang berburu babi hutan. Mereka masih kerabat dekat. Saat pulang dari ladang pak Gana bertemu kerabatnya Ishak di jalan kebun. Ishak mengatakan melihat jejak babi hutan saat paginya menoreh karet di bukit. Kemudian mereka sepakati untuk pergi berburu sore hari, karena pada sore hari biasanya babi akan keluar dari sarang atau gua-gua yang ada untuk mencari makan buah-buahan hutan, khususnya buah jengkol. (saat itu sedang musim jengkol).

Sorenya sekitar jam 16an mereka berangkat. Saat di dalam hutan mereka berpencar untuk mengepung babi. Karena telingah babi hutan sangat peka terhadap suara 'asing' dan penciuman babi sangat tajam maka harus memperhatikan arah angin. Jangan sampai arah angin si pemburu mengarah ke babi. Sudah dipastikan buruan akan lari.

Cara untuk mensiasatinya adalah bertengger diatas pohon tinggi. Dengan begitu, bau manusia yang tertiup angin tidak akan sampai ke posisi babi yang berada di tanah. Posisi pemburu pun akan memudahkan memantau situasi terutama di dekat kumpulan pohon jengkol dimana kemungkinan babi akan makan di situ.

Tak lama kemudian, Dooor ! Babi pun tertembak, beratnya sekitar 50kg. Di hutan paling lama hanya 1 jam mereka sudah mendapatkan hasil buruan.

Saat saya tanyakan kenapa begitu cepat mereka mendapatkan hasil. Jawabannya sungguh mengejutkan ! Katanya sinyal di hutan bukit itu sangat kuat. Jadi mereka bisa saling berkomunikasi lewat sms menyampaikan berita pantauan sitausi di posisi masing-masing yang saling berjauhan.

[caption caption="warga menonton televisi di ruang Ruai"]

[Warga sedang menonton televisi di Ruai. Sumber Foto Dok. Pribadi]

Kembali Ke Laptop

Sebenarnya di rumah panjang ada televisi umum pakai parabola. Televisi itu diletakkan di ruang Ruai (semacam ruang publik (teras) di depan bilik-bilik). Ruai itu lebar 5 meter-an yang memanjang sesuai bentang Rumah Panjang (112 meter). Disitulah warga berkumpul, berinteraksi dengan tetangga bilik sambil menonton televisi umum. Namun, warga Rumah Panjang lebih sering nonton sinetron, filem india, panggung dangdut, kisah selebritis. Sangat jarang nonton saluran berita. Saya sebagai tamu tentu tak mungkin meminta mereka 'stay tune' di saluran berita. Nanti apa kata Dewa Tuak? Bisa-bisa Dewa malahan murka dan mengutuk saya jadi pohon Gaharu kelas satu, apa kata dunia ? Heuheuheu...

Jadi bila malam ngumpul di ruang Ruai saya hanya ngobrol dengan warga, atau merapikan tulisan harian. Jarang memperhatikan acara televisi. Sekitar jam10 malam televisi dimatikan. Warga beranjak kembali ke bilik masing-masing untuk tidur. Ruang Ruai pun sepi. Sementara saya tidak bisa tidur cepat karena menderita insomnia. Bagi saya pukul 22 masih sore. Saat televisi dimatikan itulah penderitaan saya dimulai.

Kompasiana Beta Bikin Gemes

Sebelum era Beta, Kompasiana Lama relatif mudah diakses bila saya berada di bukit, kebun, ladang atau hutan. Sinyal penuh atau minimal separuh. Sehabis baca berita saya biasanya menulis di bawah pohon atau Langkau (Pondok ladang/hutan) sambil istirahat dengan warga yang berladang, mengambil tumbuhan (sayur) hutan, Nebai untuk membuka ladang, atau mencari ikan di sungai (Manjur).

Tulisan selesai dibuat langsung posting, kemudian baca artikel teman-teman Kompasianer dan komen ngakak. Sungguh hiburan nikmat tak terkira. Tak ada duanya, apalagi bila hasil postingan dibaca banyak orang. Soal masuk Highlight itu nasib, soal dapat Headline itu Takdir. Keduanya sudah saya dapatkan melalui postingan dari hutan pedalaman.

Walau tidak nonton tivi, saya bisa mengikuti perkembangan berita dan membagi pemikiran atas berita-berita itu.

(Aktivitas warga di depan rumah panjang. Sumber ; Dok. Pribadi)

 

Seringakali bila tidak sedang tidak ada kegiatan warga di hutan, ladang dan sungai, saya tetap akan ke sana pada jam-jam tertentu. Bahkan itu saya lakukan pada malam hari ! Saya pakai motor, jaraknya relatif tak jauh. Agar tak dikerubuti nyamuk saya pakai lotion anti nyamuk. Tujuan ke sana adalah membaca berita dan Kompasiana atau minimal posting tulisan yang sudah saya buat sebelumnya di Rumah Panjang.

Namun ketika Kompasiana lama dalam proses hijrah ke Beta, ritual saya itu sungguh terganggu. Kompasiana bikin gemess ! Sudah susah-susah ke tekape dengan resiko dipatok ular, atau ketemu dedemit cantik...ehhh..Kompasiana tak bisa dibuka. Kalaupun bisa dibuka, tapi sulitnya sungguh minta amoi..eh..amplop..eeh ammpun! Belum lagi fiturnya yang jinak-jinak merpati ; bisa dipencet tapi tak berereksi..eh.bereaksi. Bisa bereaksi tapi loadingnya setengah abad ! Sementara saya membatasi waktu di Lokasi. Ndak enak sama penghuni hutan atau bukit di malam hari. Mereka juga kan mau Nganu?

Batasan waktu saya bukan hitungan menit atau jam, melainkan feeling. Bila feeling tiba-tiba tidak nyaman, apalagi kalau bulu kuduk tiba-tiba berdiri maka itulah waktunya saya harus pergi. Biarpun postingan sedang loading, atau belum selesai. Tak perlu ditunggu ! Soal terkirim atau tidak itu urusan Dewa Sinyal.

Soal waktu tidak ada kompromi, tidak ada Injurytime sedikitpun. Bukan apa-apa, saya kan mesti menghormati 'tuan rumah rimba' dan saya harus 'displin' kalau ingin tetap berkompasiana esok hari dan seterusnya. Orang bilang, hidup ini indah. Kata Utha Likumahua ' Esok kan masih ada, huu..huu.huu !

Mengakses Kompasiana di pedalaman kemudian menjadi kegiatan yang ngeri-ngeri sedap. Seringkali udah bela-belain datang di tekape saat siang yang sepi atau malam nan sunyi saya tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya pulang dengan penuh penasaran dan riang gembira. Kejadian seperti ini berulangkali. Anehnya, walau sulit dan bikin gemes, bila berhasil mengakses atau posting tulisan ada kepuasaan tak terkira. Langsung saya tinggalkan tekape, soal tanggapan pembaca itu urutan ke 1001.

Gemesnya berkompasiana ini akan jadi kenang-kenangan kelak.

(Penulis sedang di hutan untuk mengikuti kegiatan warga. Sumber ; Dok. Pribadi)

 

Sekian 

Lembah Bukit Rentap, Sintang 5/7/2015
Salam Kompasiana Baru

#Tulisan saya berikut adalah tentang 'Pengalaman Terjebak Perampokan Bersenjata Api di SPBU' di lintasan jalan negara saat menuju ke pedalaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun