Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Prestasi Olahraga Nasional Dikalahkan Prestise Politik

15 Juni 2015   04:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tim Garuda Muda Indonesia | Photo by SINGSOC

Sea Games 2015 tinggal 3 hari lagi berakhir. Posisi Indonesia masih di peringkat 5. Dengan sisa waktu yang ada dan jenis cabang yang dipertandingkan, rasanya sudah sulit bagi Indonesia masuk 3 besar sesuai target yang ditetapkan pemerintah. Melihat hasil Sea Games kali ini sulit percaya bahwa Indonesia dulu pernah jadi Raja di setiap perhelatan Sea Games. Bukan hanya juara umum, tapi juga jumlah medali Indonesia sangat jauh meninggalkan peringkat di bawahnya. Bisa separuh medali Sea Games diraup kontingen Indonesia.

Menjadi tuan rumah atau tidak, Indonesia pasti Juara Umum. Disitulah Indonesia tampak superior di kawasan Asean.

Kenapa dulu bisa hebat sekarang tidak? Apakah karena pembinaan olahraga Indonesia mengendor? Atau justru negara tetangga yang meningkat tajam?

Keduanya benar.
Kita kendor karena olah raga nasional tidak lagi jadi bagian penting.
Sementara negara tetangga kini lebih serius dan fokus membina atlet sejak usia dini. Sebagian konsep pembinaannya itu justru meniru Indonesia masa lalu. Sekarang para elit negara lebih sibuk main politik dan pencitraan diri. Hingar bingarnya lebih menarik namun sangat besar menguras energi. Bukan hanya pikiran, bahkan anggaran negara.

Dahulu (era 70an-90an) politik memang 'masih' adem ayem dibawah rezim Soeharto. Beliau punya Political will yang kuat untuk membangun olahraga nasional. Anggaran negara pun bisa serius dan fokus untuk pembinaan olahraga - bukan pada ongkos politik yang tak jelas juntrungannya.

Beberapa sekolah atlet didirikan dan didanai pemerintah secara penuh. Pembinaan calon-calon atlet dimulai dari usia sekolah (SMP hingga SMA). Anak-anak daerah berbakat dididik dan dilatih di sekolah atlet seperti Diklat Ragunan, Salatiga dan Pelembang. Mereka para bibit muda itu hidupnya diprogram ; sekolah dan berlatih, berlatih dan sekolah-dalam suatu komplek terpadu asrama beserta fasilitas olahraga lengkap. Semua ditanggung negara.

Masuk sekolah atlet menjadi cita-cita para muda berbakat diseluruh tanah air. Sekolah atlet jadi kebanggaan dan prestise. Bermula dari Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (Popsi)-setingkat SMP diselenggarakan tiap tahun pada masa libur panjang kenaikan kelas. Dari situ seleksi bibit muda unggul untuk masuk sekolah atlet sesuai bidangnya. Mereka yang terpilih dididik dan dilatih secara terprogram oleh para pembina, diberi makan bergizi kelas atlet.

Pada periode tertentu, para atlet muda itu diterjunkan ke kejuaraan tingkat regional dan Internasional. Sehingga kemampuan teruji dan mental mereka semakin matang. Maka tak heran Indonesia punya banyak atlet handal yang lahir dari sekolah atlet tersebut. Mereka merajai hampir semua cabang olahraga di tingkat regional Asean beberapa periode.

Kini sekolah-sekolah atlet itu tak lagi terdengar. Banyak yang bubar karena tak ada anggaran pemerintah. Sebuah alasan yang 'aneh'. Sementara dana ini-itu untuk politik begitu mudah dikucurkan, tunjangan fasilitas pejabat makin besar. Belum lagi kalau lihat dana yang (ternyata) dikorupsi sangat fantastis hanya oleh satu-dua orang.

Andai saja dana besar itu dikelola untuk pembangunan olahraga nasional sejak usia muda mungkin kita tidak seterpuruk saat ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun