Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pelantikan Wakapolri BG Membuka Kebohongan Vulgar Jokowi

23 April 2015   04:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:46 3399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1429756749944529505

[caption id="attachment_379812" align="aligncenter" width="" caption="gambar ; http://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/794276/big/055862600_1421136405-Budi-Gunawan-20150113-Johan.jpg"][/caption]

Kisah karier puncak Komjen Budi Gunawan (BG) berakhir bahagia bagi Polri dan BG pribadi, tapi jadi luka+duka publik dan nasib sial Jokowi.


Komjen Budi Gunawan pantas bahagia, walau tak jadi Kapolri, namun jadi Wakapolri pun sudah puncak karier juga. Ibarat tangga dia cuma satu tingkat di bawah level puncak. Namun demikian, di level itu, tidak ada orang lain selain dirinya.


Berbeda misalnya jabatan di perguruan tinggi.Jabatan wakil rektor bukan cuma satu. Ada beberapa wakil rektor yang punya masing-masing bidang khusus, misalnya wakil rektor bidang kemahasiswaan, wakil rektor bidang kerjasama, serta wakil rektor bidang administrasi dan keuangan.


Mungkin terlalu jauh membandingkan Lembaga Polri dengan Perguruan Tinggi, namun perlu diingat bahwa perguruan tinggi hanya sebuah contoh organisasi 'kecil' yang diurus oleh 'beberapa wakil' yang setara. Sementara Polri sebagai organisasi besar dan kompleks 'cuma' diurus satu wakil. Jadi, posisi seorang Wakapolri secara 'de facto' sangat bergengsi. Maka Komjen BG secara pribadi patut berbangga 'terpilih' jadi orang nomor satu di levelnya. Kalau semasa dia jadi Kalemdikpol masih ada kabag-kabag lain yang setara, antara lain Kabareskrim, Baharkam dab Baintelkam.(Lihat sumber).


Kebahagiaan bagi keluarga besar Polri adalah mereka berhasil mempertahankan marwah Polri dari 'serangan' KPK, permainan politik tingkat tinggi dan gempuran opini publik. Mereka sukses melakukannya karena adanya spirit kolegalitas, bangunan kokoh kekompakan seluruh jajaran Polri, dan rasa memiliki harga diri korps.


Bagaimanapun 'buruk'nya figur BG di mata publik, BG tetaplah simbol harga diri Polri yang mereka puja dan agungkan. Sosok BG adalah salah satu contoh pimpimpin Bhayangkara sukses dan layak jadi panutan para jajaran nya makanya dia dibela mati-matian oleh Korps. Ini bukan lagi soal BG sebagai petinggi kala itu 'divonis' bersalah atau tidak bersalah. Bukan soal buruk citra atau cantik citra, tapi soal harga diri atau marwah !


Untuk semua itu, ucapan selamat diberikan kepada lembaga Polri. Mereka telah memenangkan pertempuran masa lalu sekaligus peperangan itu sendiri.


Bagaimana dengan duka Publik?

Publik layak berduka karena saat proses BG dicalonkan jadi Kapolri beberapa waktu lalu telah menyibak banyak kejanggalan, terutama rekam jejak BG berkaitan harta yang dia miliki. Hal itu diperkuat dengan 'gebrakan' KPK sebagai lembaga keadilan yang masih diyakini mampu mewakili hati nurani rakyat untuk memberantas korupsi. Bahkan karena itu pula, Presiden Jokowi 'membatalkan' BG jadi Kapolri.


Saat itu polemik menjadi panas, terbuka, telanjang dan penuh kejutan terbaru dari hari ke hari bagai sinetron akbar yang tertayang massal. Semua itu mengaduk-aduk emosi publik (yang cuma bisa jadi) penonton, bikin marah serta membuat hati rakyat teriris dan luka dalam. Bahwa ternyata setiap kejutan yang muncul berbantah dengan 'logika-logika' tidak logis pihak Polri, misalnya ; proses kepemilikan perusahaan-uang dalam jumlah besar oleh anak BG yang masih abg nyatanya tidak ditindaklanjuti lebih serius.


Intinya bahwa duka publik tercipta oleh tidak etis dan janggalnya jumlah kekayaan dan cara memperoleh kekayaan seorang abdi negara bernama Komjen Budi Gunawan. Selain itu terungkapnya 'citra BG sebagai kader' tak resmi PDIP sebagai partai penguasa. Bukankah Polri harus bebas dari politik?


Intinya bahwa publik tidak ingin seorang Komjen BG jadi pimpinan di tubuh Polri karena memiliki semua komponen itu!


Disisi lain seorang Jokowi menjadi nelangsa karena bernasib 'sial'. Dia semula 'menolak' BG jadi Kapolri, yang mendapat dukungan moril publik kini seperti Macan Ompong. Dulu kuat mengaum menolak, tapi kini tak punya kekuatan gigitan pencegah Komjen BG jadi petinggi Polri.


Dengan perspektif lain bahkan bisa jadi Jokowi dianggap pembohong publik dibalik citranya yang 'mumpuni'. Dulu dipihak publik, kini 'seolah-olah tidak tahu apa-apa' atau berlindung disisi peraturan.Seperti memberi ruang gerak internal Polri mengangkat BG-sang simbol.

Jokowi (juga) ternyata hanya seorang sutradara sinetron 'polemik BG' yang tak punya konsistensi idealisme berkarya. Jokowi cuma sutradara sinetron picisan. Dia awalnya mampu menguras emosi publik penonton, mengharu biru untuk meraup simpati di pertengahan durasi, namun kemudian menampilkan adegan telanjang yang vulgar-tanpa sentuhan intelektualitas dan seni-nurani di akhir cerita.


Jokowi cuma sukses menjadi pembohong besar pada karyanya ini. Bisa jadi karena Jokowi tak lebih Sutradara amatiran bermental buruk yang takluk oleh kemauan produser? Entahlah...


Lalu bagaimana sebaiknya Publik menyembuhkan luka? Bagaimana Jokowi harus bersikap?


Ketika Komjen BG telah dilantik jadi Wakapolri berarti secara hukum sah dan berhak pada jabatan itu atas nama undang-undang. Bahkan seorang Jokowi pun tidak bisa mengubahnya sesegera mungkin karena harus taat pada etika undang-undang.


Dari semua itu, hanyak waktu lah yang bisa menyembuhkan luka dan duka publik. Apalagi, publik sudah terbiasa teraniaya yang memunculkan sikap permisif. Bersama dengan waktu pula, usai 'pesta menang perang' keluarga besar Polri dalam beberapa hari ini. Semoga mereka segera berbenah, bersih-bersih lokasi pesta, dan kemudian bekerja lagi.


Kali ini kita-publik- berharap, Polri bekerja lebih baik dengan semangat pertobatan paling besar dalam sejarah. Mereka harus sadar bahwa kemenangan pertempuran dan peperangan mereka tersebut telah banyak menimbulkan luka dan duka publik. Oleh karena itu hanya bekerja dengan spirit pertobatanlah yang harus mereka lakukan dan tunjukkan secara nyata. Itu merupakan 'deal' terbaik saat ini.


Kalau pertobatan tidak terjadi, maka bukan lagi sutradara Jokowi yang akan turun tangan, tapi Sutradara Besar sekaligus Produser Agung lah akan turun tangan dengan caraNya sendiri. DIA lah yang terakhir jadi harapan penyembuh luka dan duka publik.

Sumber bacaan ; Satu, Dua, Tiga, Empat, LimaEnam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun