[caption id="attachment_373819" align="aligncenter" width="233" caption="gambar ; http://1.bp.blogspot.com/_R8Hy8HKN7Hc/TDVL2n-XhJI/AAAAAAAAAPI/RXXKwIhCHdo/s1600/mind.bmp"][/caption]
Tersentak membaca komentar Kompasianer Adi Arwan Alimin di artikel Kompasianer Topik Irawan. Berikut cuplikan Komentarnya.
Adi Arwan Alimin
Tulisan sampah itu bila hanya beranjak dari imajinasi, tanpa sumber yang jelas, dan bermodal semangat kejar setoran. Namun bila kontennya dapat diverifikasi, dan cukup faktual saya kira hal yg dikuatirkan bukanlah sampah. Mas Topik, sampah yg bisa jadi pupuk itu lebih baik dari sampah masyarakat... salam kompasianer
2015-03-18 09:11:16
Balas Komentar |Laporkan
Kalimat yang digarisbawahi itu sangat menarik. Karena itu Saya tidak bermaksud berpolemik dengan komen Kompasianer Ardi Arwan Alimin tersebut. Justru sebaliknya, Saya jadikan sumber inspiras artikel ini.
********
Suatu tulisan apapun kontennya punya latar belakang (setting) tersendiri yang secara garis besar terdiri dari dua faktor ;
Pertama ; faktor internal si Penulis. Misalnya, kehidupan masa lalu, ambisi, ego dan emosi, kepeminatan, tingkat pemahaman, kemampuan, daya jelajah, dan lain-lain.
Kedua, faktor eksternal si Penulis. Misalnya ; tuntutan tugas dan kepentingan, pakem-pakem yang berlaku, aturan, dan lain-lain.
Kedua faktor itu merupakan bagian tak terpisahkan dan saling melengkapi. Masing-masing punya peran membentuk sebuah informasi untuk pembaca.
Suatu tulisan merupakan hasil karya hasil cipta dan karsa seorang Penulis. Proses penciptaannya lewat metode Glass Box dan Blackbox di imaginasi dan pikiran si Penulis.
Metode Blackbox dapat diartikan sebagai "proses penciptaan seolah-olah ide muncul tiba-tiba, tanpa disangka-sangka seperti datang dari langit". Blackbok sepintas seperti ide murni namun sebenarnya berasal dari setting yang tanpa disadari berproses dan mengendap lama dalam memori otak dari masa lalu si Penulis. Setting tidak bisa dideteksi secara jelas, baik tempat dan waktu kapan hal itu terjadi. Seringkali telah saling bercampur satu sama lain.
Sedangkan metode Glassbox berasal dari proses brainstroming, kegiatan tukar pikiran, rapat, kesepakatan bersama, aturan kelembagaan dan lain-lain yang digunakan untuk menghasilkan suatu karya cipta.
Dalam proses menulis, si Penulis harus mampu berimaginasi agar tercipta 'jiwa konten' dari tulisan. Tanpa jiwa konten, tulisan tersebut akan terasa kering dan tidak meninggalkan pesan utuh bagi para pembaca. Misi informasi dari tulisan pun menjadi tidak sempurna.
Tidak ada tulisan yang tercipta tanpa unsur imaginasi si Penulis. Baik tulisan fiksi dan non-fiksi.
Pada tulisan fiksi, unsur imaginasi dominan, dan menjadi panglima pada karya penciptaan fiksi.
Pada tulisan non-fiksi, unsur imaginasi pun berperan penting. Bahkan tulisan reportase yang seringkali dianggap steril imajinasi (hanya berdasarkan fakta-faktual, sesuai kejadian di lapangan, bersifat realistis) namun kenyataannya harus memuat imaginasi Contohnya : Seorang penulis berita (jurnalis-reporter) saat melakukan repotase lapangan tidak serta merta bisa langsung menulis disaat bersamaan dengan kejadian.
Apa yang dia lihat dan dengar langsung, dengan bantuan alat rekaman (audio-visual) baru bisa ditulis beberapa saat setelah kejadian berlangsung. Bisa dalam hitungan jam, menit dan detik. Karena kejadian itu harus dia pantau secara utuh baru bisa dilaporkan tulisan.
[caption id="attachment_373820" align="aligncenter" width="512" caption="gambar ; http://4.bp.blogspot.com/-guP1RQMq7zg/T88AJ6Kd4OI/visuaisasi1.jpg"]
[caption id="attachment_373822" align="aligncenter" width="512" caption="gambar ; http://4.bp.blogspot.com/-guP1RQMq7zg/T88AJ6Kd4OI/8/8Vi5fThadJM/s1600/visuaisasi1.jpg"]
Saat membuat laporan si Penulis harus punya imaginasi untuk bisa merangkai kata, membentuk kalimat dan melahirkan diksi menarik yang sesuai kejadian yang dialami. Bisa jadi hasil si Penulis menunjukkan gaya tertentu yang dipengaruhi setting ego, rasa empaty, trauma, jurnalis idola, dan lain-lain. Proses tersebut disebut metode blackbox
Laporan tersebut kemudian diedit kembali dan 'diseleksi' oleh tim redaktur agar sesuai kaidah penulisan media, pakem yang berlaku, sistem lembaga naungan jurnalis, kepentingan koorporate, ciri-gaya-budaya lembaga yang menugaskannya. Hasil akhir dari proses itulah yang kemudian disajikan ke publik. Rangakain proses tersebut disebut berpikir secara Glassbox.
Dalam satu peristiwa yang sama, menghasilkan tulisan-reportase faktual yang tidak sama persis antara satu penulis dengan penulis lainnya. Antara satu mainstream media dengan mainstream media lainnya. Misalnya peristiwa kunjungan Jokowi di wilayah musibah banjir hasil peliputannya (tulisan) tidak akan sama persis antara media Kompas, Tempo, Suara Pembaruan, Republika, detik.com, kompas.com, okezone.com, viva.com dan lain-lain.
Dari uraian diatas, jelas bahwa sebuah tulisan, se-sederhana apapun bentuknya, seburuk apapun isi dan kaidah baku penulisan, dan se-sedikit apapun referensinya ; Semuanya tak bisa lepas dari unsur imaginasi.
Imajinasi setiap orang tidak sama, atau bersifat sangat relatif. Tingkat kedalamannya tak terukur. Oleh karena itu, tulisan imajinasi tidak bisa dipersalahkan oleh hanya satu paradigma tertentu saja. Bisa jadi, paradigma itu tak menguasai penuh atau bahkan tak mampu menjangkau sedikitpun esensi-kedalaman imajinasi. Kalau dipaksakan hanya akan sia-sia alias tak berguna. Hal yang tak berguna sering diasosiasikan dengan Sampah.
Kali ini, 'sampah' itu bukan di posisi imaginasi tulisan, melainkan cara pembaca memaksakan paradigma untuk menilai imajinasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H