[caption id="attachment_371162" align="aligncenter" width="420" caption="gambar ; Zulkifli Hasan, sumber gambar ; http://www.rmol.co/images/berita/normal/331033_03370824022015_zulkifli_hasan.jpg"][/caption]
Zulkifli Hasan (ZH) menang lawan Hatta Rajasa (HR)-sang incumbent. Ada apa dengan Hatta Rajasa? Apakah era keemasannya sudah lewat?
Terlepas dari telikung dan kasak-kusuk klise Amien Rais yang (selalu) turun gunung hingga mengaburkan sosoknya sebagai seorang Pandito sejati, seorang Zulkifli Hasan memang layak memimpin PAN saat ini. Berangkat dari seorang yang bukan siapa-siapa, dia perlahan-lahan naik di pentas politik Nasional, hingga akhirnya terpilih jadi Ketua MPR.
Secara psikologis inilah yang jadi SIM Card seorang ZA untuk meyakinkan pemilihnya untuk bangga menjadikannya ketua PAN.
Menjadi ketua MPR adalah sebuah posisi bergengsi di elite politik nasional. Secara hierarkis MPR lah lembaga tertinggi di negara ini, walau dalam 'kesehariannya' lembaga ini kalah populer dibanding DPR atau si 'tetangga luar komplek' seperti KPK. Tak masalah, toh faktor hierarkis tersebut bisa dijadikan pegangan untuk menaikkan citra PAN.
Terlebih saat ini PAN tidak ada kadernya di kabinet Jokowi akibat 'kalah perang' di pilpres lalu. Menjadi Ketua MPR adalah 'hadiah hiburan sebuah kompetisi-yang oleh PAN digosok-gosok, ditiup-tiup, dieman-emankan kemudian dibingkai dan dipajang menjadi sebuah simbol diri; bahwa PAN masih eksis di pentas nasional.
Hal tersebut akan lebih gagah lagi bila yang menjabatnya adalah ketua partai, bukan seorang 'petugas partai'. Maka ZH yang lebih duluan jadi ketua MPR 'dikukuhkan' jadi ketua PAN. Dengan demikian pembentukan 'simbol diri' PAN menjadi utuh.
Partai PAN tidak akan malu bila 'bergaul' dengan partai lain. Karena mereka punya properti yang bisa dibanggakan.
Bagaimana dengan Hatta Rajasa?
Secara 'skill, kharisma dan ketokohan' Hatta Rajasa (HR) tidak kalah, bahkan masih unggul dibandingkan ZA. Seorang HR merupakan sosok politikus yang tenang dan tampak intelek, jauh dari kesan preman, asal njeplak-ngomong, dan main tabrak seperti banyak tokoh di situasi politik nasional seperti saat ini.
Namun usai pilpres kemarin sosok HR babak belur dan 'dinyatakan secara de facto sudah habis'. Itulah batas terakhir masa keemasan HR secara psikologis sebagai sebuah simbol Partai PAN. Lain halnya kalau dia waktu itu menang jadi Wakil Presiden RI, maka ZA harus menunggu 5 tahun lagi kalau mau jadi ketua PAN.
Jadi, pada suksesi PAN kali ini, ZA menang karena sebuah komodifikasi yang 'tak sengaja' terjadi menjadi sebuah Destinasi dirinya. Sedangkan lengsernya HR yang punya Destinasi ternyata harus menjalani 'takdir' lain di luar destinasinya sebagai tokoh politik kawakan. Untunglah HR manusia spotif dan berjiwa besar! Maka damailah PAN.
Bagaimana dengan Amien Rais?
Sosok gaek satu ini seperti biasa dengan gaya seolah King Maker padahal tak lebih oportunis renta yang mencari kursi sebagai pahlawan kesiangan. Sama halnya saat berkiprah pasca reformasi lalu. Tanpa bekas!
Salam Pemberdayaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H