Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prabowo dan Jokowi Saling Melakukan Pembunuhan Karakter?

26 Mei 2014   13:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:06 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_325659" align="aligncenter" width="630" caption="http://posrondadotnet.files.wordpress.com/2014/05/posronda-jkwjk-prabhat.jpg?"][/caption]

Menyimak beragam tulisan dan berita di berbagai media sering membuat tertegun. Begitu banyak informasi miring yang menjatuhkan capres Prabowo atau Jokowi. Kalau dikatakan itu hanya ulah para pendukung keduanya, apakah kedua tokoh itu sendiri tidak pernah melakukannya? Ini politik bung !

Tulisan seorang Kompasianer Galaxi2014 tgl 20/05/2014 berjudul Prabowo gunakan Strategi Sun Tzu untuk kalahkan Jokowi menambah referesi tentang strategi perang yang sebelumnya tidak saya ketahui. Kali ini saya tidak bermaksud mengupas perspektif tulisan Kompasianer Galaxi2014 tentang Prabowo tersebut.

Strategi Sun Tzu yang klasik itu sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun saat peperangan fisik maupun psikologis untuk memperebutkan kekuasaan. Isinya sangat filosofis dan relevan sepanjang jaman. (bisa dilihat dihttp://id.wikipedia.org/wiki/36_Strategi

Prabowo dan Jokowi adalah dua orang yang pernah dan sedang memperebutkan kekuasaan. Secara terpisah waktu dan tempat, dahulu Prabowo berkecimpung di militer dan pengusaha sedangkan Jokowi pengusaha dan politikus. Kali ini mereka di satukan dalam perebutan kursi RI 1. Keduanya telah melewati perjalanan masa lalu yang berliku dengan beragam strategi pemenangan sehingga menjadi sosok capres sekarang ini.

Dalam ajang olimpiade ada semboyan : Citius, Altius, Fortius yang berarti “Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat”. Semboyan ini dinyatakan dalam kredo yang berbunyi “ Hal terpenting dalam olimpiade bukanlah untuk menang, tetapi untuk berpartisipasi. Seperti halnya yang terpenting dalam hidup bukanlah kemenangan, tetapi perjuangan. Hal terpenting bukannya karena telah berhasil mengalahkan, namun karena telah berjuang dengan baik”. (lihat wikipedia.org)

Faktor dominan kemenangan dalam olahraga adalah diri atlet itu sendiri. Kemenangan tidak ditentukan oleh opini dan penilaian masyarakat untuk memilihnya menjadi pemenang. Yang penting si atlet bisa lebih cepat, lebih tinggi dan lebih kuat. Atlet A tidak perlu harus membunuh karakter lawannya yakni si atlet B dengan isu-isu miring agar masyarakat memilih si atlet A jadi pemenang.

Sementara dalam politik, kemenangan sangat ditentukan oleh persepsi dan penilaian publik terhadap si tokoh politik. Keberhasilannya tergantung citra yang diciptakan secara terstruktur dan sistematis. Ada tim kerja khusus yang melakukannya, tentu saja ini sepengetahuan si tokoh politik tersebut.Tim ini bisa jadi disebut tim propaganda yang merupakan bagian dari tim pemenangan.

Seorang tokoh politik yang akan merebut kekuasaan tidak boleh hanya memperhatikan diri sendiri dan berkutat pada citra diri dimata publik, namun dia juga harus melihat kekuatan citra lawan. Apalagi bila lawan tersebut lebih kuat, lebih populer, dan banyak kelebihan lainnya.

Selain itu melihat fenomena bahwa seorang tokoh yang baik dan pandai bekerja belum tentu memenangkan pemilihan, maka harus ada terobosan untuk menghentikan kekuatan atau menghancurkan lawan politik guna memuluskan diri memenangkan kekuasaan. Salah satunya cara adalah membuat citra diri semakin positif, sementara di sisi lain membuat citra lawan semakin diragukan masyarakat.

Mengutip salah satu strategi Sun Tzu sebagai berikut :

Strategi 33 ; “ Biarkan mata-mata musuh menyebarkan konflik di wilayah pertahanannya. (Gunakan mata-mata musuh untuk menyebarkan informasi palsu.) Perlemah kemampuan tempur musuh anda dengan secara diam-diam membuat konflik antara musuh dan teman, sekutu, penasihat, komandan, prajurit, dan rakyatnya. Sementara ia sibuk untuk menyelesaikan konflik internalnya, kemampuan tempur dan bertahannya akan melemah”. (Sumber wikipedia.org).

Berkaca dari strategi perang Sun Tzu, timbul pertanyaan tentang strategi yang dimiliki Prabowo maupun Jokowi untuk menghentikan atau menghancurkan lawannya. Mungkin pernyataan ini lebay, terlalu tendensius, seolah-olah mereka berdua melakukan praktek kampanye hitam untuk saling menjatuhkan. Satu hal yang perlu dicatat, politik penuh kejutan, apa saja bisa terjadi dan bisa dilakukan. Tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Kita bisa lihatnasib Dahlan Iskan, Hari Tanoe, Rhoma Irama, yang tercampakkan dalam sekejap setelah tak lama berbulan madu dengan kolega partainya.

Itulah realitas dan fenomena politik yang terjadi di depan mata. Munculnya beragam manuver politis tim pemenangan dan para tokoh berpengaruh kepada salah satu pihak, baik berupa pernyataan negatif, kritik tajam, bahkan semacam tuduhan kepada pihak lawan. Ditambah lagi lagi isu-isu miring yang diciptakan dan berkembang terhadap salah satu pihak menjadikan persaingan politik itu seperti tak mengenal sopan santun. Masyarakat pun bertanya-tanya; “apa benar si tokoh itu begini-begitu?”

Saya membayangkan masing-masing pihak mengadakan rapat di tempat rahasia. Ada tim inti yang membawa data-data rahasia milik lawan. Diruang itu ada meja bundar, lampu gantung hanya menyinari meja rapat sehingga wajah peserta rapat tidak terlihat jelas, beberapa orang tak henti mengepulkan asap rokok, berbicara dengan suara berat dan serak-serak basah. Datalawan tersebut kemudian diolah bersama, dimanipulasi menjadi bentuk citra negatif lawan. Kemudian setelah jadi, diam-diam disebar ke masyarakat dengan cara “lempar baru sembunyi tangan”. Tidak bisa diketahui siapa yang mulai menyebarkannya. Dibawah komando ketua tim kerja propaganda, isu-isu negatif itu dipantau dan di-update dan di-up grade terus sesuai dinamika yang terjadi.

Sementara dibagian lain, si tokoh politiktetap tampil seperti biasa, seolah bersahabat dengan lawan politiknya, saling berjabat tangan, cipika-cipiki, tersenyum, saling memuji, berkata bijak di ruang publik baik media televisi, koran, dan lain sebagainya. Sementara di sisi lain ada orang-orang atau tim suksesnya yang terus menerus membuat dan mensuplai citra negatif untuk membunuh karakter sang lawan.

Kira-kira Prabowo dan Jokowi begitu nggak, ya? Kita berharap Prabowo dan Jokowi tidak melakukan politik dua muka. Didepan publik mereka nampak baik-baik saja, namun dibelakang saling membunuh karakter lawan lewat tangan orang lain. Kalau ‘iya’, sungguh menyeramkan !

Kita tidak ingin memilih pemimpin yang suka membunuh karakter lawan. Karena bagaimanapun juga, kalah atau menang dalam pemilihan, lawan politik itu merupakan sosok manusia unggul hasil seleksi ketat dan panjang. Dan dia adalah aset bangsa yang berguna bagi pembangunan.

Salam kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun