Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kalau Presiden Bujangan, Bagaimana Membagi Rasa ?

7 Juni 2014   12:25 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:52 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_327781" align="aligncenter" width="681" caption="gambar :http://drnasoha.files.wordpress.com/2010/03/suara-pemikir-bahru.jpg"][/caption]

Jarang terjadi seorang pemimpin negara masih bujangan. Karena pencapaian karier menuju kursi presiden seringkali didukung seorang motivator setia dan paling dekat dalam hidupnya, yakni seorang istri. Tak bisa dibantah kata pepatah klasik ; Dibalik kesuksesan seorang laki-laki selalu ada perempuan disampingnya.

Walaupun laki-laki diidentikkan sebagai mahluk tangguh, kuat dan setumpuk label bernada kejantanan, namun sebenarnya laki-laki tak sekuat labelitas dirinya ketika dari sisi perasaan menjadi tema utama.

Se-rasional apa pun seorang laki-laki, sisi perasaan menjadi penting sebagaipenyeimbang rasionalitas itu. Sifatnya sangat inklusif, eksklusif dan pribadi. Dengan keseimbangan itulah seorang laki-laki menjadi manusia yang stabil. Dan itu akan teruji saat si lelaki mengemban tugas berat sebagai pengambil keputusan.

[caption id="attachment_327782" align="aligncenter" width="460" caption="gambar : http://cdn.klimg.com/kapanlagi.com//p/executive_instalblogimages.jpg"]

14020934461164648409
14020934461164648409
[/caption]

Presiden bukan jabatan sakral-keilahian, seperti para rohaniawan yang bertapa di ruang sunyi spiritualitas. Namun merupakan jabatan yang bersifat profan, memuat unsur ke-duniawi-an atau ke-pragmatis-an hidup. Pada unsur keduniawian itu, presiden masih harus dikelilingi bahkan diikat aturan dan etika yang ketat. Dia bukanlah seorang eksekutif muda yang yang punya kebebasan gerak dan ekspresi personal.

Jabatan presiden adalah tugas berat walau dilimpahi beragam fasilitas dan kemudahan. Dia tak perlu memikirkan kebutuhan domestik rumah tangga, karena sudah ada staf yang mengurusnya. Mulai dari pakaian, makanan, hingga perawatan diri.

Kalau saja presiden adalah mobil mewah, tinggal masuk carwash maka kembali kinclong-lah dia.Urusan ganti mesin ada mekanik yang siap 24 jam. Tapi presiden bukanlah rangkaian mesin canggih dengan desain casing terkini. Ada sisi psikologis yang tak bisa ditangani carwash atau mekanik.

Tugas terberat seorang presiden adalah pada pikiran. Didalamnya ada kompleksitas permasalahan yang dihadapi, bukan hanya masalah teknis namun juga non-teknis. Banyak sisi relasi manusia di lingkaran tugasnya yang menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah selesai sampai dia akan lelap di ruang paling pribadi yang nyaman.

Pada konteks inilah pendamping hidup diperlukan. Ada luapan beban negara yang menjadi beban pribadi yang hanya bisa dipahami oleh seseorang yang memahami betul karakter si presiden. Orang itu adalah pendamping hidup yang telah mengenalnya lama secara dekat. Sejak dia belum menjadi apa-apa. Dan sejak dia bangun tidur dan kembali ke tempat tidur.

[caption id="attachment_327783" align="aligncenter" width="620" caption="gambar : https://assets.kompas.com/data/photo/2011/08/26/0933376620X310.jpg"]

14020938031453923326
14020938031453923326
[/caption]

Hanya dengan melihat perubahan atau keanehan pada gestur tubuh, mulai dari : mimik, intonasi suara dan cara bicara, gerak tubuh, tatapan mata di menit tertentu, si pendamping itu telah tahu apa yang terjadi, apa yang tidak beres dan apa yang harus dia lakukan secara personal kepada si presiden.

Memikirkan sosok presiden bujangan, adalah memikirkan kestabilan psikis seorang lelaki dalam menjalankan tugas berat kenegaraan, penuh tekanan, godaan dan tentu saja tanggung jawab sebagai manusia super sekaligus manusia biasa pada umumnya.Disitulah pertaruhan nasib suatu bangsa dan negara dipertaruhkan.

Pada titik itulah seorang perempuan presiden melaksanakan tugas dan jabatannya yang tak pernah tercatat.

Salam kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun