Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jangan Kau Kira Menulis Itu Gampang, Kawan

20 Agustus 2014   15:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:04 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_338890" align="aligncenter" width="448" caption="http://astrianin.files.wordpress.com/2012/07/hidup-untuk-menulis.jpg"][/caption]

Tersentak mendengar perkataan seorang kawan kerja, “Tulisan-tulisan di Kompasiana itu kok gampangan sih? Semua orang juga bisa buat seperti itu. Herannya tulisan seperti itu kok bisa-bisanya dibaca banyak orang?”

Saya balik bertanya, “Gampang bagaimana?”

Kembali dia menjawab, “Ya, gampanganlah, tulisannya tidak panjang, isi tulisan juga bukan hebat-hebat amat. Bahasanya semau gue penulisnya saja.”

Saya terdiam sejenak mendengarnya sambil teringat saat pertama kali mencoba menulis artikel 1,5 halaman kuarto, saya keringatan dan pusing tujuh keliling. Beberapa jam saya utak-atik kalimat hanya untuk menuangkan satu ide kecil yang ada dalam benak. Pada akhirnya tulisan itu pun ‘tidak selesai’ atau selesai tapi saya sendiri malu membacanya.

Teman saya ini adalah seorang konsultan profesional yang biasa membuat laporan proyek-proyek pemerintah. Hasil tulisan yang dia buat bisa ratusan lembar kemudian dijilid menjadi sebuah buku laporan. Walau saya juga tahu, apa yang dihasilkannya itu tidak murni seluruhnya hasil pemikiran sendiri. Sering kali dia mengkopi-paste dari laporan-laporan proyek sejenis yang dia miliki, dan dari referensi lainnya. Hasil kopi-paste itu dimodifikasi menyesuaikan proyek yang sedang dia kerjakan.

Dia seorang yang cerdas, sering kami bersama dengan teman-teman yang lain kongkow-kongkow di tempat makan atau warung kopi sambil diskusi ringan tentang banyak hal, mulai dari masalah politik, kenegaraan, sosial, perkembangan media, budaya dan lain sebagainya yang sedang jadi isu aktual di pemberitaan media. Pemikirannya menarik, cukup cemerlang dan seringkali mencengangkan dalam menanggapi isu-isu aktual.

Saya kembali menanggapi pernyataannya, “Okelah, kalau ente katakan menulis artikel itu gampangan. Bagaimana kalau ente juga membuat tulisan seperti di Kompasiana itu?"

Dia tertawa dan berkata, “Wah itu mah kecil, bro...! Apa taruhannya buat aku? Kamu traktir tiga kali makan siang, ya.”

Saya setuju, “Oke, deal.... traktir ente tiga kali makan siang itu mah gampang, tidak akan membuat saya jatuh miskin!"

Kami pun tertawa bersama teman-teman yang lain di kafe itu. Kemudian saya berikan gambaran bahwa saya kalau menulis artikel butuh waktu antara 30 menit sampai 1 jam, sudah termasuk edit kalimat, cari gambar ilustrasi dan posting ke Kompasiana. Jumlah kata antara 400 sampai 1.000, tergantung tema artikel. Saya katakan padanya, “Pasti ente bisa lebih baik, bro... kan sudah biasa buat laporan proyek ratusan lembar. Lha ini untuk Kompasiana cuma 1,5 halaman kuarto. Tulis aja opini dari satu tema kecil soal politik atau timnas U19 yang tadi kita diskusikan.”

Besoknya ketika ketemu saya tagih tulisannya. Kenapa tidak di-posting ke Kompasiana? Dia katakan belum, masih dibuat. Katanya, “Kau gila, ya... aku sudah dua jam-an membuat tulisan itu tak juga selesai. Maka kutinggalkan dulu, mungkin otakku lagi tak fit.”

Saya tersenyum dan coba memaklumi. Hari berikutnya saya tanyakan lagi. Dia katakan, “Ah, nanti-nantilah... sudah aku otak-atik tapi hasil tak bisa seringan yang ditulis orang-orang di Kompasiana itu.”

Hari berikutnya lagi saya tagih. Katanya saya sudah kayak debt collector. Dalam suatu kesempatan makan kongkow-kongkow dia katakan menyerah sambil dia tunjukkan tulisannya yang “acak-kadut”di laptop. Ahaa! Dompet saya pun selamat tak jadi koyak dalam, maklum dia makannya banyak.

Sampai sekarang dia masih di Kompasiana menjadi silent reader yang setia, taat, tabah, khusyuk dan penuh penghiburan. Setiap saya selesai posting artikel dan beberapa waktu kemudian ketemu, pasti dia berseru, “Kau memang gila, bro,” setelah itu kami pun tertawa. Saya yakin dia telah membaca Kompasiana. Karena panggilan “Gila” itu saya pun menjadi Kompasianer yang tabah.

Terhitung sudah kira-kira 4 bulan sejak dia membuat akun Kompasiana (belum termasuk beberapa tahun menjadi pembaca tanpa akun), belum satu pun tulisan dia buat dan tak lebih 5 jari komentar di akunnya. Saya sadar, dia telah menjadi “Silent Reader Teladan” di Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun