Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Hitungan 4X6 Menampar Orang Dewasa

24 September 2014   00:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:10 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_343987" align="aligncenter" width="544" caption="http://4.bp.blogspot.com/-ITaY8f0QP1c/TfXiP2RXuAI/AAAAAAAABGc/v1rTmn0cTQ0/s1600/anak-sd_cyberprotes.jpg"][/caption]

Persoalan 4X6 yang naik ke media sungguh mengasikkan. Untuk hari ini saja ada banyak tulisan yang masuk HL khusus bicara 4X6 dan 6X4. Sungguh bikin takjub mengikuti perdebatan/komentar yang ada.

Banyak orang yang tadinya tak terlalu perduli dengan masalah pendidikan akhirnya menoleh dan menyimak. Dan pada saat itulah masing-masing orang seperti ditampar kesadarannya. Ternyata persoalan PR matematika SD bisa membuat kita semua berpikir lebih dalam tentang pendididkan dasar di negara ini.

Beruntunglah ada Kompasiana, semua bisa dibahas secara mendalam dari berbagai aspek, sehingga kita mendapatkan banyak perspektif bukan hanya semata sebuah penyelesaiaan berapa dan bagaimana cara operasi penjumlahan dan perkalian 4X6 dan 6X4.

Semua argumen yang disampaikan pembaca benar adanya. Sangat komplit dan bernas. Namun demikian dari yang benar itu tak semuanya tepat. Benar dan Tepat memang berbeda ideologi, namun masih satu saudara sebangsa dan setanah air, jadi tak perlu dipermasalahkan sejauh bahwa tingkatan intelektual pembaca Kompasiana memuat kesadaran dan idealisme yang sama.

Satu hal yang jadi catatan penting pada pendidikan dasar bahwa mengajar di SD jauh lebih sulit dibandingkan di tingkat universitas. Anggapan ini boleh anda bantah. Dari pegalaman mendampingi anak saya yang masih SD dan membandingkan saat di depan ruang kuliah itulah pemikiran ini muncul. Sehingga ketika mendampingi anak belajar perlu ekstra hati-hati menyampaikan materi pelajarannya.

Mengajar di SD membutuhkan cara berpikir yang sangat khas, yakni bagaimana menjadi seorang anak kecil dengan menyelami cara berpikir mereka tentang sesuatu hal. Setelah itu, bagaimana menyampaikan bahan ajar bukan hanya benar, tapi juga secara tepat. Sedikit saja salah mengarahkan maka akan menjadi ‘luka batin dan sesat pikir’ yang akan diingat hingga tingakt lanjut.

Sementara pada tingkatan universitas, suatu kebenaran biasa dikritisi bersama-sama dosen dan mahasiswa, diutak-atik dengan logika dan argumen serta teori-teori yang segudang. Banyak analogi menawarkan dirinya untuk dipakai. Menjadikan suatu fenomena memiliki banyak kebenaran. Selain itu bahasa yang digunakanpun bisa berbagai tingkatan, fleksibel dan mengikuti konteks fenomena.

Semoga saja pendidikan dasar kita semakin lebih baik seiring perkembangan media yang cepat memberitakan kejanggalan-kejangalan proses pengajaran yang muncul di tingkat awal. Perlu tindakan cepat, sebelum kejanggalan itu berakibat fatal bagi generasi tunas bangsa.

salam kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun