[caption id="attachment_363868" align="aligncenter" width="606" caption="gambar :http://cdn1-e.production.liputan6.static6.com/medias/758550/big/005176200_1414665668-Ignatius-Jonan-20141030-Johan.jpg"][/caption]
Jauh sebelum Jonan jadi apa-apa, tiket pesawat bisa murah. Tapi setelah jadi menteri tiket jadi mahal. Itu karena adanya musibah jatuhnya Air Asia.
Kebijakan baru harga tiket secara tidak langsung untuk menutupi malu pemerintah yang tak mampu memberi pelayanan transportasi udara murah dan aman bagi rakyat kebanyakan.
Kenapa menutupi rasa malu? Karena kalau tidak ditutup akan bisa bikin rendah diri. Agar harga diri tinggi maka segala hal yang bikin malu harus ditutup. Walau itu tidak pernah menghilangkan 'kemaluan' itu sendiri.
Andai tak ada musibah Air Asia, bisa jadi tiket tetap murah karena 'kemaluan' tak terlihat. 'Kemaluan' ini milik pemerintah yang jadi barang haram setelah kadung jelas oleh orang banyak.
Apa saja sih 'kemaluan' itu?
Ternyata ada kutu di tata kelola pada regulasi penerbangan yang bersarang dengan nyaman mengisap darah dan mengotori industri penerbangan nasional. Kutu itu berseragam pemerintah yang seringkali menciptakan ekonomi biaya tinggi bagi dunia industri di negeri ini.
Sebenarnya hal seperti itu tidak aneh dan bukan hal mengagetkan karena negara kepulauan indah nan luas ini banyak orang pintar ngibul di segala lini, namanya kerennya korupsi. Dan kepintaran itu sudah diakui dunia dalam bentuk ranking atas negara terkorupsi.
[caption id="attachment_363870" align="aligncenter" width="560" caption="http://2.bp.blogspot.com/-DuclmdzWRZg/UmgtIyxowLI/pesawat+udara.jpg"]
Agar pemerintah-Ignasius Jonan tak terlalu malu, maka perlu dicari kambing hitam. Maka ketemulah kambing hitam itu di maskapai penerbangan. Wujud kambing itu berupa tiket murah.
Sebelum era tiket murah, yakni ketika jalur udara nusantara hanya dikuasai pesawat berplat merah naik pesawat hanya milik orang kaya. Kalau pun ada orang miskin naik pesawat, jumlahnya sedikit dan sangat terpaksa yakni terpaksa ngutang kanan-kiri karena kondisinya dipaksa harus pergi dengan pesawat misalnya antara pulau karena ada keluarga dekat yang sakit keras atau meninggal di seberang pulau. Kalau hanya untuk silaturahmi biasa jangan harap naik pesawat. Dompet bisa koyak dalam punya, whuaa...!
Kini era Ignasius Jonan jadi menteri kita dibawa ke era jaman dulu. Jalur udara menjadi elit kembali. Sebagian orang kaya tentu suka karena simbol statusnya tetap terjaga.
Jaman dulu, kalau naik ppesawat mesti berpakaian rapi, pakai jas atau safari, sepatu dan farhum mewangi ! Saat ngobrol dengan teman sebangku pun nyambung karena selevel. Egoisme saya pun merayakan dirinya karena saya orang kaya. Tapi hati kecil menangis, karena dulu saya orang miskin.
[caption id="attachment_363869" align="aligncenter" width="650" caption="http://cdn.klimg.com/vemale.com/headline/650x325/2012/05/12982-pesawat-terbang.jpg"]
Ignasius Jonan telah jadi menteri untuk orang-orang kaya. Padahal sejatinya jadi menteri itu harus melayani orang banyak, baik kasta kaya ataupun miskin. Kalau realitasnya si miskin jumlahnya banyak harusnya dia kreatif-punya kebijakan melayani kedua kasta tersebut. Kalau tak mampu, percuma jadi menteri.
Ah, bisa jadi dia seolah-olah jadi pengusaha produk 'branding' ; "Ada rupa ada harga". Tampak indah di etalase tapi dia pura-pura lupa, ada kutu di dalam kotak atau di gudang produknya. Dia bukan pengusaha kreatif yang produknya 'murah, aman dan terjamin'. Karena untuk jadi kreatif itu susah apalagi dalam sorotan nestapa publik. Kalau sudah begini makin kuatlah pernyataan konyol saya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H