[caption id="attachment_368775" align="aligncenter" width="300" caption="gambar : https://kangmaskatrok.files.wordpress.com/2011/01/otak.jpg"][/caption]
Seorang Saya adalah orang hebat. Selain otak encer, rajin dan pekerja keras, juga punya pergaulan luas. Maka tak heran dikagumi banyak orang karena prestasi dan konon ber-integritas.
Dahulu Saya nakal kagak ketulungan, waktu kecil suka mencuri buah jambu milik tetangga, ngetapel anjing milik Pakde Kartono juragan pelit, bahkan suka usil naikin daster ibu-ibu yang belanja ke warung pagi-pagi terus kabur ngakak, sampai-sampai si ibu itu teriak dengan muka merah !
Konon orang pintar memang punya energi lebih. Dan nakal itu hanyalah salah satu bentuk pelepasan energi. Cuma saja, energi yang dilepaskan itu adalah energi negatif. Tapi Einstein memaklumi, karena katanya; negatif jadi penyeimbang positif untuk menghasilkan energi yang berguna bagi kehidupan mahluk bumi.
Karena Einstein sempat dekat dengan tuhan, maka tuhan pun cuma bisa tersenyum kecut dan pura-pura tidak tahu. Maka makin jayalaah kenakalan saya.
Masa kuliah adalah puncak prestasi masa muda. Tak mau kalah dengan semboyan tentara ; 'Jaya di laut, udara dan cairan'. Demikian juga saya ; 'Jaya di prestasi akademis, olah raga, organisasi kemahasiswaan dan dunia pacaran serta dugem'. Hidup pun jadi penuh warna yang membuat saya matang sebagai mahasiswa, seorang anak, lelaki dewasa dan manusia bengal.
Karena ragam kenakalan itu berulangkali saya berurusan dengan Polisi.
Saya suka main tabrak aturan karena aturan saya anggap terlalu menghambat percepatan kemajuan. Sering mengkritisi realitas timpang kondisi sosial dan penyelenggaraan negara, terlibat demontrasi sana-sini meneriakkan keadilan.
Disisi lain saya bertalenta jadi Don Juan karena pesona kelelakian yang mumpuni serta persedian kelenjar Saya yang kental dan harum. Punya banyak pacar cantik baik resmi dan tak resmi diwaktu bersamaan. Beberapa dari mereka bahkan keperawanannya Saya ambil dengan riang gembira. Bukan cuma itu, janda pun ditaklukkan dengan gagah perkasa.
[caption id="attachment_368776" align="aligncenter" width="560" caption="gambar : http://www.beritabali.com/asset/document/news_images/"]
Kenakalan Saya itu tidak pernah diproses pengadilan karena ayah, ibu, atau kerabat dekat keluarga mengurusnya untuk berdamai dengan Polisi. Beruntungnya Polisi di republik ini terkenal 'baik hati dan tidak sombong'. Mereka juga rajin menabung dari para peminta-minta damai. Bahkan polisi diperjalanan pun akhirnya berkawan dengan saya. Mereka jadikan saya kawan diskusi,dan informan masalah gerakan dan dunia perlendiran Saya.
Saya itu baru benar-benar sadar Korupsi saat masa kuliah dan makin paham setelah media bebas dari kekangan rezim otoriter, kemudian secara masif saban hari memberitakan korupsi negeri.
Bahwa korupsi itu tidak baik membuat Saya 'dipaksa' benci korupsi. Apalagi kalau jumlahnya besar dan Saya samasekali tidak kebagian duitnya. iiih, benci aku !
Padahal di keseharian saya ini koruptor juga. Tahu bahwa republik ini semua bisa diatur dengan uang, saya pun juga berpartisipasi karena tak mau susah sendiri menghadapi belantar regulasi, birokrasi dan aparat hukum.
Negeri ini 'memberi kemudahan dengan cara lain' dan sudah berlaku umum di belakang meja, dibalik pintu dan bahkan di atas kasur dalam selimut.
[caption id="attachment_368777" align="aligncenter" width="560" caption="gambar ; https://partawinata.files.wordpress.com/2011/12/kekuasaan-politik-smilingchen-blogspot-com_.jpg"]
Tentu saja sangat sayang bila situasi itu disia-siakan. Sangat 'tidak etis' menolak kemudahan negeri ini, bukan? Seperti penggalan lagu 'Hallo'-nya Leonel Richie "We Play the Game what the People Play"...walau sayup-sayup sering bentrok dengan penggalan syair lagu 'Masquerade'-nya Jon Scada "..Are You realy happy with the lonely game we play...". Sungguh aneh !
Semua itu Saya lakukan setelah lepas dari dunia kampus dan harus hidup dalam realitas yang keras. Saya harus jadi orang berhasil, malu kalau gagal karenadikenal sebagai orang pintar. Kalau tak berhasil jadi orang kaya, apa kata dunia? Malu dong sama semut merah, eh hitam!
Saya pun kemudian menjadi tokoh penting negeri ini, orang mengenal Saya sosok 'idealis'. Sering jadi pembicara dari satu panggung seminar ke seminar lainnya. Memberikan pencerahan bagi banyak orang. Membongkar ketololan dan kecurangan. Wajah dan kiprah hebat Saya pun jadi akrab di lapak media.
Tapi sebenarnya, disamping semua itu juga Saya diam-diam penyuka mars perjuangan; "Maju tak gentar membela yang Bayar"
[caption id="attachment_368778" align="aligncenter" width="495" caption="gambar : http://2.bp.blogspot.com/-v8s5iyOm-YM/UtihfquMsMI/"]
Disela tugas pokok jadi petinggi, jadwal syuting media tiv, seminar, entertaimen, dan sejenisnya sangat padat. Seantero negeri pun tahu siapa Saya. Apalagi hanya sekedar Kompasiana. Huuuh !! kagak ade ape-apenye, cing !
Suatu pagi Saya berangkat menuju seminar akbar, tapi karena terburu-buru Saya lupa pasang savebelt.
Sialnya, di sudut jalan Saya disemprit Polantas dan dibawa ke post terdekat. Bertele-tele sang Polantas bicara soal pasal dan prosedur, temasuk sidang denda. Sementara waktu berjalan mengejar jadwal seminar. Masak saya harus terlambat! Apa kata dunia?
Polantas itu tak mengenal siapa Saya, karena hidupnya sepanjang hari di jalanan menghirup asap polutan kendaraan dengan tabah.
Karena sudah jadi hukum jalanan, Polantas itu menawarkan damai biar cepat selesai. Nampaknya dia paham Saya orang sibuk. Maka, kerjasama bilateral Saya dan Polisi itu pun terjadi dengan bahagia penuh riang gembira bersama. Si Polisi dapat tambahan buat beli susu anaknya, saya pun terhindar dari malu besar terlambat seminar akbar.
Suatu ketika keponakan Saya berurusan dengan hukum karena tak sengaja menabrak tukang bakso keliling sampai meninggal di tempat.
Kehidupan bangsa ini menganut nilai gotong royong, tolong menolong dan musyawarah. Percuma jadi orang hebat kalau tak menjiwainya. Percuma jadi petinggi kalau tak menolong keluarga sendiri.Bisa-bisa dianggap durhaka, dan dikutuk jadi batu bacan, eh..batu krikil.
Percuma jadi orang pinter kalau tak pandai 'memusyawarahkan' ini dengan aparat hukum. Toh 'nabraknya kan ndak sengaja'.
Alhasil dengan pengaruh yang kuat dari sisi politis, finasiil, kemampuan membangun opini, kepintaran dan relasi yang luas maka keponakan Saya bebas dari jerat hukum. Tentunya setelah Saya menolong mengisi rekening aparat hukum sesuai deal musyawarah-mufakat.
Soal si Korban yang tewas itu soal gampang, cukup Saya datangi minta maaf dan kasi segepok duit beserta sedikit intimidasi. Indah dan mudahnya hidup di negeri ini, bukan?
"Lalu, dimana sulitnya jadi orang pintar di negeri ini, pak?"
Enak saja ! Saya memang pintar, tapi tidak pernah mengatakan demikian.
"Tapi kan pak...ada bukti tulisannya di media Kompasiana ini !"
Itu hanya ulah oknum tak bertanggung jawab yang mencoba menjatuhkan kredibilitas dan integritas Saya. Semua itu cuma rekayasa komputer !
Kalau anda ngotot menuduh, akan Saya tuntut balik karena pencemaran nama baik. Ngerti ?!
Hepi Valentin para Kompasianer dan Admin ! Ailopyupul.
Paham?
[caption id="attachment_368779" align="aligncenter" width="193" caption="gambar : http://www.leadership-park.com/new/images/stories/tentang-kekuasaan.jpg"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H