Logika mengacu pada realitas yang dihadapi, peta bahaya, ketersediaan amunisi rahasia yang dimiliki dan strategi menghadapi kondisi terburuk. Tanpa hal tersebut, Nyali atau Keberanian tak lebih tontonan kekonyolan. Tak layak jadi si 'Phenomemon'.
Mungkin seorang preman pun tak akan berlaku konyol di perangkat Nyali. Setidaknya dia punya amunisi konvensional berupa gertak sambal.
Berkaitan dengan Perasaan, inilah elemen paling sulit. Tak berbentuk dan tak ada ukuran pasti. Namun akibatnya akan tampak di realitas sebab-akibat dari Nyali.
Seandainya Ahok punya Nyali besar, apakah dia sudah memperhitungkan perasaan anak-anak, istri dan keluarga besar? Kalaulah ternyata subektivitasnya mengatakan 'sudah mengukur', apakah dia tahu bentuknya seperti apa?
Bentuk bukan hanya pada saat ini, tapi masa akan datang. Dan 'bentuk' itu adalah milik 'orang lain' yang dia kasihi. Inilah yang seringkali membuat orang 'bandel' di masa bujang, menjadi 'orang baik-baik' ketika sudah berkeluarga.
Seorang bujangan pun kalau mengalami petaka parah bahkan mati pun tetap meninggalkan Bentuk Derita bagi orang lain. Minimal orang tua, kakak-adik atau keluarga besar akan berduka atau trauma. Bukankah itu yang sebelumnya seringkali tak diperhitungkan si bujangan saat 'Bernyali'?
Andai Ahok tewas karena Nyali-nya yang 'Phenomenon', dan arwahnya sedang ada di persemayam rumah duka.
Kemudian di satu momen dia menyaksikan anak-istri dan keluarga yang dikasihi menangis terisak-isak, meraung-raung dan meronta-ronta serta pingsan, apakah dia tak ikut menangis?
Tak lama kemudian malaikat berkata ; "Ahok, kalau Anda mau kembali hidup ke keluarga yang Anda kasihi saya persilahkan. Atau, ikut saya ke alam sana dalam jam ke depan. Saya persilahkan untuk berpikir dan memilih. Elu santai aje, Hok..., gue mau ke tempat laen dulu"
Kira-kira Ahok akan memilih yang mana?
Atau kalau anda jadi Ahok, pilih yang maaannnnaaa?
Tontonan Paradoksial
Dalam konteks resiko kematian, seorang gembong nakotika yang paham betul resiko pekerjaannya pun sampai termehek-mehek pada Presiden untuk tak menjalani hukuman mati. Dari pihak keluarga besar, sampai presiden negaranya bahkan harus bersilat lidah menjual malu negara untuk minta nyawa si Gembong tak dicabut.