Malam ini...
Aku tidak tahu bahwa tempat nyaman itu tidak akan terbuka kecuali ada yang mengetuknya. Kamu melakukan itu di sore ini, saat aku menerima suratmu lagi setelah sekian lama. Rindu yang tidak terungkapkan itu sedikit bergerak, hanya sedikit karena ketukan darimu.
***
Pagi, ketika cerita mulai dicari
dan kembali untuk dibagi
Aku tidak pernah melewatkan dinginnya pagi. Selepas dua rakaat, aku duduk manis di atas atap rumah -dulunya hendak dibuat tempat menjemur cucian, tapi tidak jadi- di sana ada sebuah tempat kecil yang muat untuk satu kursi dan satu meja. Di situlah aku menikmati dinginnya pagiku.
Aku bangun pagi bukan karena ingin berlomba dengan ayam tetangga tentang siapa yang melek lebih dulu, si ayam jago atau aku. Ada beberapa alasan kenapa aku menyukai bangun di pagi buta. Pertama, aku ingin menjadi yang pertama mengucap syukur atas kehidupanku di hari yang baru. Kedua, banyak cerita yang ingin aku cari selama satu hari penuh dan aku tidak mau cerita itu kurang karena waktu sudah keburu malam dan aku harus kembali tidur, maka dari itu aku bertekad memulai semuanya jauh lebih awal.
Secangkir teh manis dengan kepulan asap dan baunya yang harum semakin menambah semangatku menanti pagi. Kupejamkan mata, membiarkan wajahku tersapu lembut oleh dinginnya udara. Kuhirup perlahan bau embun, aroma teh yang masih panas, serta bau tanah yang rupanya masih basah karena hujan semalam.
Matahari pagi mulai menyembul di balik perbukitan yang tampak jelas di tempat aku duduk pagi ini. Sinarnya mulai menyapa siapa saja yang menatapnya saat itu. Aku tersenyum, pagi ini benar-benar pagi yang berbeda.
Pagi ini rasanya satu tempat nyaman yang dulu ada sebongkah rindu kusimpan rapat-rapat di dalamnya kini menghilang. Lega. Aku telah membukanya, bukan untuk aku pupuk kembali agar tumbuh, tapi aku mengembalikannya.
Sesuai dengan apa yang diminta Aksara, aku telah membalas emailnya dini hari tadi. Aku menyetujui untuk melanjutkan kembali ceritaku, tapi tidak dengan ide ceritanya melainkan dari ide ku sendiri. Hanya butuh satu paragraf penutup bagiku untuk menyelesaikan cerita yang belum usai itu. Aku menerima permintaan maafnya. Ajakannya untuk kembali memulai cerita bersamaku aku artikan dengan keinginannya mengambil rindu yang telah aku simpan dengan baik-baik. Aku memberikannya dengan perasaan yang lapang.