Mohon tunggu...
Moti Peacemaker
Moti Peacemaker Mohon Tunggu... -

Gendeng !!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pil Parpol

13 Maret 2014   21:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kegiatan pemilu di Indonesia, bisa jadi tidak tepat untuk dikatakan sebagai Pesta Demokrasi lagi. Juga --bisa jadi-- tidak lagi pantas untuk dikatakan sebagai pemilihan wakil rakyat. Lebih bisa dikatakan sebagai percaturan kursi, atau perebutan kekuasaan untuk menguasai negara”

Parpol semakin tidak etis dalam mengangkat kader partai sebagai calon fraksi di pemerintahan. Banyak parpol yang lebih memilih untuk menggunakan “obat” atau “pil” dalam pemilu yang berlangsung. pil sebagai penguat dalam perolehan suara Parpol untuk  meraih banyak kursi di pemerintahan. Celakanya, pil tersebut cenderung tidak sehat dan hanya sebagai suplemen jangka pendek untuk program kerja jangka panjang.

Pil tersebut adalah artis dan para pemilik modal finansial. Secara popularitas, artis lebih dikenal oleh rakyat dari semua kalangan. Ada kemungkinan, popularitas tersebut sebagai salah satu pil penguat untuk meraih suara partai dalam pemilihan anggota legistlatif. Terlepas dari kemampuan yang dimiliki untuk menjalankan berbagai program pemerintah yang akan diberikan kepada Rakyat. Sebab dalam percaturan politik, ada strategi yang dari politisi maupun sekumpulan politisi -- partai -- untuk menjalankan percaturan politik dibalik layar.

Seperti ketika pada suatu acara talkshow di stasiun televisi menghadirkan bintang tamu dari kalangan artis yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Terlihat dari berbagai jawaban yang diberikan menunjukkan kompetensi dan kualitas yang dimiliki. Pertanyaan yang kritis yang diberikan tidak sanggup dijawab dengan menyakinkan. Bahkan terkesan bingung dengan jawabannya sendiri. Bagaimana mungkin, sebuah parpol yang paham dengan percaturan politik akan membiarkan kadernya menunjukkan ketidakmampuannya untuk mengurusi berbagai permasalahan rakyat, kalau tidak ada strategi lain yang disiapkan oleh parpol seandainya caleg tersebut terpilih.

Pil ini --dimungkinkan-- hanya dijadikan sebagai ujung tombak perolehan suara. Penggeraknya belum tentu orang yang berada di gambar dan tercatat sebagai anggota legislatif pemerintahan. Sangat dimungkinkan adanya penggerak lain yang sebenarnya menjadi otak dalam setiap perumusan ide yang diajukan di pemerintahan, juga dalam setiap tindakan yang dilakukan. Pil parpol sebagai patung dan penyampai konsep yang berasal dari orang-orang dibalik layar.

Hal ini bisa jadi akan menjadi blunder politik yang akan mengeroposi penyangga negara. Banyaknya perputaran ide, dan penyelenggaraan dari banyak orang dengan satu wajah akan merepotkan pelacakan penyelewengan yang --mungkin-- terjadi. Dan penyelewengan tersebut, sangat dimungkinkan akan lebih parah ketika menggunakan banyak tangan. Sebab kekuatan satu orang untuk menyangga penyelewengan, lebih kecil dibandingakan dengan kekuatan penyelewengan yang dilakukan bersama-sama dan terkonsep matang. Dan seolah tepat, apabila tindak korupsi yang terungkap sering tidak hanya menyeret satu nama. Orang-orang yang menjadi otak dan bagian dari penyelenggara korupsi masal ikut terseret dalam kasus yang terungkap tersebut.

Maka, pesta demokrasi yang disebut-sebut sebagai pemilihan wakil rakyat pada dasarnya hanyalah dalih untuk membohongi rakyat belaka. Pada kenyataannya, banyaknya pil atau suplemen parpol --dalam berbagai bentuk. Diluar pil parpol dalam bentuk artis--  hanya dijadikan sebagai sarana untuk membius rakyat agar mudah terkecoh dengan berbagai tawaran menarik yang diberikan oleh parpol. Otak rakyat yang sudah teracuni akan mudah dikendalikan oleh pengracun. Dan racunnya adalah pil yang telah disetting untuk mengendalikan tubuh yang diracuni sesuai dengan apa yang telah dikonsepkan.

Rakyat pada akhirnya hanya akan menjadi korban ambisi kekuasaan sebuah partai dan politisi dalam pemilu yang berlangsung. Masa reformasi sekian tahun ternyata tidak mampu untuk menunjukkan kualitas pemilihan wakil rakyat yang kompeten dan memberikan efek nyata untuk kesejahteraan rakyat. Pemilu yang digembar-gemborkan sebagai sarana mencari wakil rakyat kenyataannya hanya kata-kata. Bahkan yang terjadi, pemilu adalah sarana untuk membius rakyat dengan pil-pilnya.

“Naluri hati untuk mengimplementasikan wacana kebaikan yang tertanam jangan pernah diabaikan. Sebab banyak orang membutuhkan naluri tersebut.

Salam

Moti peacemaker

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun