Kemanangan barca menjadi sorotan banyak pihak ketika berhadapan dengan Real Madrid. Bagi yang merasakan kemenangan, hal ini tentu dianggap tidak ganjil. Namun bagi yang kalah atau bersikap obyektif, kemenangan Barcelona adalah kemenangan yang “seperior”.
Secara resmi, dalam satu klub hanya oleh bertanding dengan 11 pemain. Namun seringkali Barcelona mendapat “kompensasi” untuk memainkan pertandingan dengan 12 pemain. Dan tak tanggung-tanggung, mereka mendapat pemain ke-12 yang notabenenya adalah penguasa pertandingan. Penentu segala sesuatu di lapangan, Wasit.
Bukan menjadi rahasia lagi, el classico menjadi pertandingan yang paling ditunggu-tunggu oleh penikmat sepakbola di seluruh dunia. Pertandingan antara Barcelona dan Real Madrid bisa dibilang pertandingan klub paling besar dan paling di favoritkan. Rivalitas keduanya di level domestik maupun eropa telah berjalan puluhan tahun lalu. Dan masih bertahan sampai sekarang.
Sayangnya, akhir-akhir ini banyak kejanggalan dalam pertandingan besar tersebut. Adanya keputusan yang sangat sukar diterima dari keputusan wasit. Banyak pihak mengamati hal ini dan sadar benar akan adanya ketidakobyektifan dalam keputusan yang diambil. Barca sering diuntungkan dengan keputusan wasit tersebut. Hal ini terjadi tidak sekali-dua kali. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya. Ada apa antara Barca dan BBVA (asosiasi sepakbola spanyol)? Dan ada apa dengan BBVA dan Real Madrid?
Cristiano Ronaldo sendiri merasakan betapa tim yang dibelanya tersebut seringkali mendapat perlakuan yang mengejutkan dari wasit.
Para penikmat bola menginginkan adanya pertandingan yang berjalan fair play. Adanya pemain ke-12 dari Barcelona akan memberikan citra buruk dan menghilangkan daya tarik dari sebuah pertandingan. Bahkan rasa kecewa dan kemuakan. Semua tim dan pendukungnya ingin menang, tapi kemenangan tidak perlu diraih dengan menghadirkan pemain ke-12, atau bahkan bisa jadi 14, atau bahkan bisa jauh lebih banyak. Bahkan diberbagai pertandingan yang dilakoni oleh Barcelona, meski tidak melawan Real Madrid pun banyak yang diselamatkan oleh pemain ke -12 ini.
Tentu kita tidak ingin sepakbola selevel el-classico menjadi ajang percaturan seperti halnya politik di Indonesia yang semrawut. Wasit tidak boleh menjadi pemain dari salah satu tim yang bertanding. Pun dengan lembaga negara yang tidak boleh ikut nimbrung dengan kelompok tertantu. Ketika wasit telah menjadi bagian dari pemenangan salah satu tim, kekecewaanlah yang akan hadir.
Lembaga-lembaga negara pun harus bisa menjaga ke-obyektif-an dalam percaturan politik yang berjalan. Jangan sampai terjadi tindak-tanduk mudah tunjuk untuk memilih pemenang.
Kita perlu belajar adil dengan kebenaran keadilan yang sebenar-benarnya. Jangan sampai politik jadi yang menjadi bagian dari masa depan banyak orang menjadikan masa depan malah suram. Jangan sampai juga sepakbola yang menjadi kebahagiaan banyak orang malah jadi sarana kekecewaan. Salam
[caption id="" align="alignnone" width="615" caption="motipeacemaker"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H