Ini sangat kontradiktif dengan aturan dari Kemdikbud yang tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud No. 4 Tahun 2020 yang di dalamnya tertulis sekolah tidak harus mengejar ketuntasan pembelajaran. Di tengah bencana nasional covid-19 ini fleksibilitas dan kelonggaran kurikulum adalah kunci agar anak dan guru tetap merdeka dalam belajar.Â
Maka dari persoalan guru saat PJJ, mungkin perlu terus dilakukan pembenahan kebijakan serta pembekalan yang lebih mendalam terhadap para guru sebagai bekal menjalankan PJJ yang lebih ideal dan adil bagi peserta didiknya. Misalkan dengan membuat pelatihan-pelatihan untuk guru dengan materi yang sesuai dengan yang dibutuhkan pada saat ini. Guru pada saat ini harus berani berubah, berinovasi, berkreasi mengikuti perkembangan dan kebutuhan situasi serta kondisi pada saat ini.
Permasalahan yang ketiga adalah faktor kebijakan. Kebijakan dan aturan yang dibuat oleh pemerintah adalah acuan atau pedoman dalam menjalankan PJJ.Â
Akan tetapi banyak aturan yang dibuat tidak bisa menyelesaikan permasalahan sampai ke akar permasalahannya. Contoh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Juknis BOS Reguler yang mengatur penggunaan dana BOS untuk kuota internet siswa dan juga guru selama PJJ. Aturan ini belum bisa dilaksanakan dengan baik, karena dalam prakteknya di lapangan, banyak yang harus dipenuhi, sehingga data tersebut dapat digunakan.Â
Lalu ada Surat Edaran Mendikbud No. 4 Tahun 2020 yang di dalamnya tertulis sekolah tidak harus mengejar ketuntasan pembelajaran, hal ini belum bisa dilaksanakan seutuhnya karena faktor psikologis guru yang tetap ingin bersikap ideal dalam menuntaskan kurikulum. Sebab akan ada rasa yang mengganjal jika pembelajaran tak tuntas serta tuntutan dari pihak sekolah yang mengharuskan mengumpulkan data dan kelengkapan mengajar sesuai kurikulum yang telah berjalan. Ini juga yang menyebabkan guru tidak berpikir merdeka dan bebas. Atau ada lagi aturan Permendikbud 8 Tahun 2020 yang mengatur tentang alokasi 50% BOS untuk gaji guru honorer.Â
Dengan banyaknya guru yang pensiun, aturan ini sejatinya membantu sekolah mengatasi masalah kekurangan guru. Akan tetapi pada prakteknya malah sebaliknya, sebab yang berhak mendapatkan dana BOS 50% hanyalah guru honorer yang memiliki NUPTK (nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan) dan terdaftar di Dapodik.Â
Padahal bagi guru honorer baru, perlu waktu lama untuk mendapat NUPTK dan terdaftar di Dapodik. Dikarenakan ada serangkaian syarat untuk mendapatkan NUPTK, misal jangka waktu lama mengabdi. Dengan beberapa permasalahan tentang kebijakan tersebut, maka perlu serangkaian perbaikan agar kebijakan yang ada benar-benar menjadi solusi masalah yang dihadapi guru maupun sekolah sebagai ujung tombak pembelajaran.
Pada akhirnya PJJ (pembelajaran jarak jauh) adalah pembelajaran bagi seluruh rakyat Indonesia, semua belajar kembali, mulai dari rakyat biasa sampai pemimpin negeri. Belajar dengan kebiasaan baru, belajar mencari solusi bagi permasalahan baru, belajar beradaptasi dengan keadaan yang mungkin baru ( new normal).Â
Dan yang berhasil adalah orang-orang yang mau berubah, terus belajar, terus memperbaiki diri dan siap menghadapi segala tantangan di masa depan, karena hampir dipastikan tantangan di masa yang akan datang, akan jauh lebih sulit, akan jauh lebih kompleks.Â
Saat ini kita melaksanakan pembelajaran jarak jauh, mungkin suatu hari nanti ada sistem baru, karena persoalan yang dihadapi juga baru. Dan kita harus siap menghadapinya. Ini adalah pendapat pribadi saya sebagai seorang guru, dengan harapan tulisan saya dapat menjadi bagian dari kebebasan mengeluarkan pendapat dan ide, untuk perbaikan mutu pendidikan di Indonesia pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H