Dalam kehidupan sosial tidak dapat dipungkiri lagi banyak gap (jarak) antar suku, walaupun sejak SD kita sudah dicekoki kata Bhineka Tunggal Ika namun kelihatannya tidak semua orang bisa mengamalkan makna tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Hal itu saya alami ketika saya yang dianggap Cina harus menjalani “kedekatan” dengan lawan jenis yang berkulit lebih hitamyang disebut pribumi (maaf). Saya dianggap Cina karena ibu saya bermata sipit walaupun ayah saya terdapat campuran darah Melayu dan Dayak. Tetapi saya tetap menganggap saya Indonesia.
Banyak yang meremehkan saya karena saya memilih “Dekat “ dengan gadis yang warna kulitnya sedikit berbeda dengan saya. Saya tidak pernah mundur apapun kata orang. Saya berkeyakinan bahwa apapun suku kita “DARAH KITA SAMA MERAH & TULANG KITA SAMA PUTIH”.
Melalui Novel AKU MENCINTAI PRIBUMI aku berteriak dan berusaha menyadarkan siapapun, bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia. Semuanya sama. Jangan pernah menganggap suku kita yang paling unggul atau paling hebat.
Sejak diluncurkan di toko buku, ada beberapa teman yang kurangsenang dengan buku saya karena dengan berani menulis kebiasaan-kebiasaan buruk orang tertentu. Sebagai penulis, saya harus jujur dengan apa yang saya tulis dan apa yang saya ketahui. Saya tidak mau munafik membohongi diri sendiri dengan memuji sesuatu yang tidak pantas dipuji atau menjelekkan sesuatu yang yang tidak pantas dijelekkan.
Inilah indahnya jadi Penulis dengan memanfaatkan The Power of Book.
(P B8 penulis Novel Aku Mencintai Pribumi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H