Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada Serentak) 2024 sudah di depan mata. Saat ini tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak memasuki masa tenang. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 dijelaskan bahwa masa tenang adalah masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas kampanye pemilihan. Sehingga sesuai pengertian tersebut, maka semua parpol, pasangan calon, tim kampanye, dan relawan pendukung dilarang melakukan aktivitas apapun yang berkaitan dengan kegiatan kampanye selama masa tenang (Kompas.23/11/2024).Â
Pada perhelatan Pemilu tahun 2019 silam masih banyak ditemukan kasus pelanggaran pemilu selama masa tenang. Misalnya di laman bawaslu.go.id  04/16/2019 digambarkan  bahwa Masa Tenang, Pengawas Pemilu Tangkap Tangan 25 Kasus Politik Uang dan beberapa kasus lainnya.Â
Meskipun disebut sebagai masa tenang tetapi masa ini sebetulnya tidak membuat masyarakat benar-benar merasa tenang. Masih banyak tim kempanye yang bermain secara tenang dan bergerak secara terselubung. Hal ini memang belum banyak yang terekspos ke publik. Selain itu kampanye melalui media masa kian hari bergentayangan di sosial media.Â
Dari persoalan tersebut, bagaimana sikap masyarakat dalam menghadapi permainan nalar politik yang tidak sehat selama masa tenang ? Sikap kritis seperti apa yang harus ditampilkan agar marwah demokrasi bangsa tidak tercoreng ? Pertanyaan  reflektif ini sebagai bahan pertimbangan agar kasus yang terjadi di Pilkada sebelumnya tidak lagi terjadi dan untuk menjadikan Pilkada serentang 2024 menjadi ajang  pemilu yang sehat.
Nalar politik yang sehat akan menghasilkan kepemimpinan yang legitimate. Sistem politik demokrasi jelas tidak imun dari politik tanpa nalar atau politik Machiavellian dalam kadar berbeda dari suatu negara ke negara lain. Elit kekuasaan, elit politik, elit ekonomi, elit agama dan elit sosial-budaya sering terlibat dalam persekutuan tidak suci (unholy alliances) dalam menerapkan politik tanpa nalar.
Politik yang tidak menggunakan atau memanipulasi nalar (unreason politics atau politics of unreason) tidaklah baru. Sejak lama -- termasuk dalam sistem dan proses demokrasi -- berbagai cara tak bernalar yang manipulatif dan menyesatkan untuk mencapai tujuan dan kepentingan politik tertentu telah menjadi praktik kalangan kekuatan politik (Azyumardi Azra, 2019).
Riwayat politics of unreason secara cukup sempurna pernah diberikan sastrawan dan filsuf Niccolo Machiavelli (1469--1527). Dalam karyanya, The Prince, Machiavelli menggambarkan cara-cara suatu rezim memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Mementingkan diri sendiri, rezim yang ingin berkuasa memanipulasi, menipu dan mengeksploitasi. Cara-cara yang digunakan sering tidak menggunakan nalar sehat.
Untuk menghindari berkuasanya elit politik yang dilahirkan oleh nalar politik yang tidak sehat tersebut, masyarakat perlu lebih jauh memahami nalar politik yang digunakan oleh peserta pemilu. Apabila sudah terlanjur tertarik dengan isi kampanye baik dari misi misi maka yang perlu dilakukan adalah menelaah nalar aktivis dan nalar politis dari figur tersebut.
Nalar Aktivis, Nalar Politisi dan Nalar Instrumental