Mohon tunggu...
Oktavianus Daluamang Payong
Oktavianus Daluamang Payong Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menulis adalah merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Masa Tenang: Awas Terjerumus Dalam Permainan Nalar Politik Kotor Pasangan Calon

25 November 2024   11:27 Diperbarui: 25 November 2024   12:30 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada Serentak) 2024 sudah di depan mata. Saat ini tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak memasuki masa tenang. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 dijelaskan bahwa masa tenang adalah masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas kampanye pemilihan. Sehingga sesuai pengertian tersebut, maka semua parpol, pasangan calon, tim kampanye, dan relawan pendukung dilarang melakukan aktivitas apapun yang berkaitan dengan kegiatan kampanye selama masa tenang (Kompas.23/11/2024). 

Pada perhelatan Pemilu tahun 2019 silam masih banyak ditemukan kasus pelanggaran pemilu selama masa tenang. Misalnya di laman bawaslu.go.id  04/16/2019 digambarkan  bahwa Masa Tenang, Pengawas Pemilu Tangkap Tangan 25 Kasus Politik Uang dan beberapa kasus lainnya. 

Meskipun disebut sebagai masa tenang tetapi masa ini sebetulnya tidak membuat masyarakat benar-benar merasa tenang. Masih banyak tim kempanye yang bermain secara tenang dan bergerak secara terselubung. Hal ini memang belum banyak yang terekspos ke publik. Selain itu kampanye melalui media masa kian hari bergentayangan di sosial media. 

Dari persoalan tersebut, bagaimana sikap masyarakat dalam menghadapi permainan nalar politik yang tidak sehat selama masa tenang ? Sikap kritis seperti apa yang harus ditampilkan agar marwah demokrasi bangsa tidak tercoreng ? Pertanyaan  reflektif ini sebagai bahan pertimbangan agar kasus yang terjadi di Pilkada sebelumnya tidak lagi terjadi dan untuk menjadikan Pilkada serentang 2024 menjadi ajang  pemilu yang sehat.

Nalar Politik

Nalar politik yang sehat akan menghasilkan kepemimpinan yang legitimate. Sistem politik demokrasi jelas tidak imun dari politik tanpa nalar atau politik Machiavellian dalam kadar berbeda dari suatu negara ke negara lain. Elit kekuasaan, elit politik, elit ekonomi, elit agama dan elit sosial-budaya sering terlibat dalam persekutuan tidak suci (unholy alliances) dalam menerapkan politik tanpa nalar.

Politik yang tidak menggunakan atau memanipulasi nalar (unreason politics atau politics of unreason) tidaklah baru. Sejak lama -- termasuk dalam sistem dan proses demokrasi -- berbagai cara tak bernalar yang manipulatif dan menyesatkan untuk mencapai tujuan dan kepentingan politik tertentu telah menjadi praktik kalangan kekuatan politik (Azyumardi Azra, 2019).

Riwayat politics of unreason secara cukup sempurna pernah diberikan sastrawan dan filsuf Niccolo Machiavelli (1469--1527). Dalam karyanya, The Prince, Machiavelli menggambarkan cara-cara suatu rezim memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Mementingkan diri sendiri, rezim yang ingin berkuasa memanipulasi, menipu dan mengeksploitasi. Cara-cara yang digunakan sering tidak menggunakan nalar sehat.

Untuk menghindari berkuasanya elit politik yang dilahirkan oleh nalar politik yang tidak sehat tersebut, masyarakat perlu lebih jauh memahami nalar politik yang digunakan oleh peserta pemilu. Apabila sudah terlanjur tertarik dengan isi kampanye baik dari misi misi maka yang perlu dilakukan adalah menelaah nalar aktivis dan nalar politis dari figur tersebut.

Nalar Aktivis, Nalar Politisi dan Nalar Instrumental

Nalar aktivis adalah cara berpikir sistematis yang di dalamnya terkandung sejumlah prinsip berpolitik sebagai berikut : Pertama, menolak tegas segala macam pemberian materi dan non materi yang dapat disamakan dengan praktik money politics dalam Pemilu; kedua, menganggap praktik money politic sebagai bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan melanggar undang-undang; ketiga, menganggap pelaku praktik tersebut patut dijatuhi sanksi pidana dan layak dibatalkan pencalonannya sesuai undang-undang yang berlaku.

Nalar politisi lebih cenderung pragmatis dan kontekstual, khususnya dalam hal pemberian materi dan non materi. Nalar politis sedikit bertentangan dengan nalar aktivis. Cara berpikir sistematis yang terkandung dalam nalar politisi adalah sebagai berikut : pertama, memberikan materi kepada masyarakat miskin dengan tujuan untuk menyejahterakan mereka bukanlah tindakan melanggar hukum, apalagi jika yang melakukan adalah mereka yang tergolong dalam kelas bangsawan; kedua, pemberian materi dari kalangan bangsawan adalah sebuah anugerah atau kehormatan bagi pihak yang menerimanya; dan ketiga, pemberian materi tersebut tidak tergolong sebagai praktik money politics (Guno, 2015) 

Dari kedua nalar politik di atas, peserta pemilu yang masih mengamini nalar politisi sebaiknya harus dihindari. Di dalam Undang -- Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ditegaskan bahwa money politics adalah jenis pelanggaran pidana. Yang dimaksud money politics dalam Undang -- Undang tentang pemilu tersebut antara lain jual beli suara; dalam kampanye peserta Pemilu dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan; menggunakan masa tenang untuk memberikan uang atau materi lain kepada pemilih; dengan sengaja memberikan uang atau materi kepada pemilih pada hari pemungutan suara untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta tertentu. 

Sedangkan nalar politik  bergaya instrumental hanya melihat warga sebagai sekumpulan "alat" untuk mencapai tujuan-tujuan sektarian, atau lebih parah tujuan pribadi dan keluarganya semata. Nalar ini melahirkan pemimpin yang kelak memandang masyarakat bukan sebagai bubyek pembangunan. Nalar Instrumental akan melahirkan pemimpin yang cendrung otoriter dan antikritik. Pasangan Calon Pilkada serentak 2024 yang menggunakan Nalar politik instrumental ini juga sebaiknya dihindari.

Sikap kritis yang perlu diamini oleh seluruh warga masyarakat adalah berani menolak dengan tegas segala macam pemberian materi dan non materi yang dapat disamakan dengan praktik money politics dalam Pemilu. Bahkan dengan tegas melapor indikasi penyelewengan pilkada kepada Bawaslu. 

Sejatinya pelaksanaan pemilu yang damai, jujur dan adil adalah cerminan demokrasi yang sehat dalam suatu bangsa. Tidak etis dan bahkan tidak bermoral bila masyarakat datang ke TPS dan memilih tanpa memiliki pengetahuan yang memadai atau tanpa informasi yang benar tentang setiap kandidat yang hendak dipilih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun